Senin, 31 Maret 2014

kewirausahaan dalam perspektif islam

peter f. drucker mengatakan bahwa kewirausahaan merupakan kemampuan dalam menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. pengertian ini mengandung makna bahwa wirausahawan adalah orang yang memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru atau berbeda dari yang lain,
Atau mampu menciptakan sesuatu yang berbeda dengan yang ada dengan yang sebelumnya.
Untuk menciptakan sesuatu yang berbeda diperlukan suatu kreativitas dan jiwa innovator yang tinggi. 

Semangat kewirausahaan diantaranya terdapat dalam QS. Hud:61, QS.Al-Mulk:15 dan QS.Al-Jumuh:10, dimana manusia diperintahkan untuk memakmurkan bumi dan membawanya ke arah yang lebih baik serta diperintahkan untuk berusaha mencari rizki.

QS. Al-Jummuah 10 yang artinya :
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
itu bisa dikatakan perintah agar manusia bertebaran dimuka bumi untuk mencari rezeki dari allah.
dan untuk mencari rejeki tersebut gunakan allah sifat-sifat rasulullah.
Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” 
 
Sifat yang harus dimiliki oleh seorang wirausaha yang sesuai dengan ajaran agama Islam adalah  sifat-sifat rasulullah.
1. Shiddiq artinya benar. Bukan hanya perkataannya yang benar, tapi juga perbuatannya juga benar. Sejalan dengan ucapannya. jadi bisa dikatakan bahwa seorang wirausahawan harus selalu menga perkataan perbuatannya agar dapat disenangi oleh orang lain baik bawahan, maupun konsumen sendiri.
2.Amanah artinya benar-benar bisa dipercaya. Jika satu urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah Nabi Muhammad SAW dijuluki oleh penduduk Mekkah dengan gelar “Al Amin” yang artinya terpercaya jauh sebelum beliau diangkat jadi Nabi. Apa pun yang beliau ucapkan, penduduk Mekkah mempercayainya karena beliau bukanlah orang yang pembohong. disini bisa dikatakan bahwa seorang wirausahwan tidak boleh melakukan kebohongan dalam menjalankan usahanya agar terbangun kepercayaan terhadap dirinya dan bisnis yang sedang dibangunnya.
3.Tabligh artinya menyampaikan.
4. Fathonah

sedangkan didalam islam diajarkan bahwa setiap apapun  yang akan dilakukan perlu diawali dengan niat maka disini penulis membagi sifat-sifat yang diperlukan seorang wirausahawan dalam islam.
1. Diawali dengan niat.
Bagi seorang muslim kegiatan bisnis senantiasa diniatkan untuk beribadah kepada Allah sehingga hasil yang didapat nanti juga akan digunakan untuk kepentingan dijalan Allah
2. dilakukan dengan mengedepankan sifat-sifat rosulullah (jujur, amanah, toleransi, tawakal, 
     silahturahmi, tidak menipu timbangan, mengambil keuntungan sesuai syariat islam)
3. bersyukur dan berinfak


Nilai ajaran Islam yang bisa digunakan menciptakan pola bisnis/wirausaha yang sehat:
ü  Optimalkan penggunaan waktu
“Demi waktu.Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,”(QS. Al ‘Ashr 1-2).
Dimensi waktu  memiliki nilai yang sangat berharga dalam membangun kekokohan bisnis kita. Mengapa ? Karena hanya waktu yang menjadi sumber daya kehidupan kita yang langsung habis, tak bisa disimpan, tak tergantikan, tak terbarui dan juga tak bisa dikelola lebih lanjut. Dengan demikian, ayat dalam Surat Ashr di atas, benar-benar menjadi peringatan yang cukup kritis, karena segalanya bersumber dari kemampuan kita mempergunakan waktu.
Dalam konsep ini, waktu tidak cuma berarti uang. tetapi adalah segala peluang yang kita miliki. Tanpa waktu yang tepat, apapun yang kita upayakan : apakah  peluncuran produk baru atau sebuah promosi penjualan, akan sia sia.
Sungguh, waktu adalah setiap kesempatan untuk bisa sukses. Demi waktu, raihlah prestasi hari ini, tanpa menunggu esok pagi. Bukankah pengelola bisnis tidak mau rugi?
ü  Jangan mengurangi timbangan
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. (QS. Al Muthaffifiin 1-3)
Coba posisikan kita sebagai pembeli, pada permintaan minimal adalah timbangan yang tepat atau pas. Syukur-syukur kalau dilebihi sedikit. Andai timbangan dikurangi, bukankah itu berarti merugikan?
Dalam etika bisnis yang islami, menyempurnakan timbangan merupakan proyeksi pemberian hak dan kewajiban antara penjual-pembeli dilakukan secara ekstra tepat, sama besar. Tak ada pihak yang manapun mau dirugikan. Bahkan bila kita memaksa untuk curang, Tuhan Sang Maha Adil secara tegas menyebut kita sebagai orang yang sangat celaka.
ü  Memenuhi janji
“…dan penuhilah janji ; sesungguhnya janji  itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”.   ( Al Israa’ 34)
Ada ungkapan  janji adalah hutang. Jadi memang harus dipenuhi atau dilunasi. Pemenuhan janji merupakan kartu truf dalam meraih kesuksesan bisnis. Karenanya, pemenuhan suatu janji layak kita jadikan prioritas dalam bisnis.
Memang, sebagai konsekuensinya segala kesuksesan kita tergantung pada kemampuan memenuhi janji kita kepada : pemilik saham, pelanggan, kreditur, pegawai, pemerintah ataupun masyarakat.
Ambil contoh, bila kita telah menjanjikan kenaikan gaji pegawai mulai persatu Januari tahun mendatang, kewajiban kita memenuhinya. Kita tidak bisa menunda-nunda dengan alasan yag dibuat-buat. Sebab janji yang kita ikrarkan adalah hutang yang memang harus dibayar lunas.
Lalu, bagaimana bila sudah berjanji, tetapi ada sebuah keadaan yang luar biasa yang membuat sebuah janji mustahil dipenuhi? Menghadapi masalah demikian, terpenting adalah adanya komunikasi yang komprehensif antar pihak yang terkait. Sehingga bisa dicapai kompromi yang memuaskan. Penundaan yang disepakati bisa menjadi salah satu solusinya.
Dengan kemampuan memenuhi suatu janji yang kita buat, sesungguhnya merupakan tabungan positif bagi kredibilitas diri dan bisnis kita.
ü  Jangan berkhianat
“…Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” ( Al Anfaal 58)
Bila kita memperoleh amanat kita harus siap menjalankan. Ketika memegang sebuah jabatan, sesungguhnya amanat sudah dibebankan ke pundak kita. Menjalankan jabatan secara benar, tidak menyalahgunakan kekuasaan dan tidak  korupsi merupakan sikap yang tidak berkhianat.
Bahkan, bila ada sebuah pesanan pembelian barang   dari seorang konsumen, syarat pembayaran dengan kredit, harga dan waktu penyerahan barang telah disepakati. Ketika barang akan dikirim, ada konsumen lain yang berani membayar kontan dengan harga lebih tinggi. Barang yang Cuma satu-satunya itu akhinya kita jual demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar dan uang kontan. Akibatnya,  pesanan yang pertama tadi gagal terrelisasi. Perilaku berkhianat dalam praktek bisnis semacam ini harus dihindari.
Begitu pula saat kita mendapatkan amanah dari pimpinan untuk menyelenggarakan penerimaan pegawai baru dengan merit system, maka jangan bersikap kolutif dan nepotis. Bila kita tidak amanah, akibatnya posisi pegawai baru bisa ditempati kemenakan kita sendiri, walau tak memiliki kualifikasi ketrampilan dan pendidikan sesuai dengan job description yang ditentukan.
Ada pertaruham yang cukup besar, ketika kita mengkhianati sebuah kepercayaam atau kesepakatan, yaitu hancurnya kredibilitas pribadi. Padahal membangun kredibilitas tidak bisa dilakukan secara instan, tetapi membutuhkan waktu yang cukup lama, bisa jadi bertahun-tahun. Bila gagal mengamankan kredibilitas kita, tentu ancaman yang serius bagi citra perusahaan. Siapakah yang mau menjalin bisnis dengan perusahaan atau pimpinannya yang sudah tidak memilki kredibilitas lagi?
ü  Bayar pekerja secepatnya
“Berikanlah kepada buruh upahnya sebelum kering keringatnya”. (HR. Abu Ya’la)
Peringatan ini penting dicamkan bagi kita para pengusaha. Mengingat, seringkali semata upahlah, kebutuhan hidup para buruh tercukupi dan dapur mereka bisa ngebul. Bila upah mereka tak segera dibayar, tentu akan membikin keresahaan dan bisa-bisa saat bekerja menjadi ogah-ogahan. Bila demikian, tak tertutup kemungkinan tak tercapainya target operasianl perusahaan.
Hubungan kerja akan tampak mulus apabila masing-masing pihak berpijak pada hak dan kewajibannya masing-masing.
Sungguh, menzalimi gaji atau upah buruh layak dihindari, karena itu pelecehan terhadap hak buruh. Memungut sejumlah iuran dengan tanpa berlandaskan ketentuan yang sah, sekecil apapun tentu tak bisa dibenarkan. Bahkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ahmad dinyatakan secara tegas, “Menzhalimi upah terhadap buruh termasuk dosa besar.”
ü  Bersaing secara makruf
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah kamu saling membenci, saling mendengki dan saling bermusuhan, tetapi jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara”. (Hadis riwayat Anas bin Malik ra)
Hadits ini bisa kita jadikan pijakan sikap dalam menggeluti dunia bisnis. Pesaing dan persaingan, merupakan dua kata yang selalu eksis di iklim usaha berbasis mekanisme pasar. Siapapun boleh berusaha, siapapun boleh menjadi pesaing kita.
Saat ini, semakin hari, para pemain baru makin bermunculan, membuat persainganpun makin sengit.  Kompetisi berbasis jor-joran harga murah banting harga mulai dijalankan para pebisnis. Rugi tidak masalah, asal mendapat pembeli pun jadi kredo bisnis. Menghadapi persaingan yang tidak kondusif semacam ini, kadang dilakukan cara yang brutal : membunuh usaha pesaing. “Ora biso coro kasar, nggawe coro alus,” ancam beberapa pebisnis. Bila perlu, “ben podo ora mangane,” ungkap pebisnis  lain dengan nada penuh dendam.
Semua itu menunjukan sebuah iklim persaingan yang tidak sehat dan menghancurkan. Bukankan ini merupakan tindakan yang melampui batas? Bukankah Tuhan tidak menyukai orang yang melampui batas? Dalam hal ini Al Qur’an dalam  Al Baqarah ayat 190 mengajarkan,”…. (tetapi) janganlah kamu melampui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui  batas.”
Dengan demikian,  Bersaing boleh, yang tak boleh adalah membunuh usaha pesaing, karena itu sebuah bentuk kezaliman dalam berbisnis.
Bahkan ditandaskan dalam Firman Allah SWT,“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih”. (Asy Syuura 42)
ü  Wajib ikhtiar
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka  kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.“ (Al Jumu’ah 10)
Hak mencari kehidupan di seluruh pejuru bumi, jelas-jelas di jamin. Jika kita melakukan ikhtiar termasuk menjalankan bisnis, maka layak dilakukan hingga batas maksimal. Begitu batas dicapai, kita harus memasrahkan diri kepada Allah SWT. Hal ini agar kita tak terlalu stress dalam menanti keberhasilan.  Juga tidak takabur bila upaya kita berhasil.
Dengan kata lain tawakkal kita lakukan, bila sudah melalui tahap survey lapang yang komprehensip, analisis yang seksama, perencanaan yang matang, pengoranisasian yang benar, pengelolaan yang hati-hati, penggerakan secara total dan evaluasi yang menyeluruh.
Dengan demikian, kita sudah mengoptimalkan segala potensi baik pemikiran, kemauan dan sumberdaya yang tersedia. Apapun hasilnya, kita baru bisa dengan mantap mengatakan “ini kehendak Allah SWT.”
Sayang sekali, penyakit kita yang umum, ikhtiar belum seberapa, kita dengan cepat mengungkapkan,” ini kehendak Allah”. Ataupun terlalu mengandalkan kehendak Allah, akibat kita sendiri enggan untuk berkehendak apalagi bertindak.
ü  Silaturahmi  membawa berkah
Anas bin Malik ra., ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa yang merasa senang bila dimudahkan rezekinya dan dipanjangkan usianya, maka hendaklah dia menyambung hubungan kekeluargaan (silaturahmi). (Shahih Muslim No.4638)
Hadits di atas apabila ditransformasikan ke dalam dunia bisnia, sesungguhnya memiliki simpul wujud yang relative sama dengan public relations. Dalam konteks ini, hubungan kekeluargaan adalah jalinan antar perusahan-karyawan, perusahan-pemasok, perusahaan-pelanggan dan perusahaan-masyarakat.
Bukankah perusahaan yang kita kelola akan sukses, bila mampu membina hubungan dengan berbagai pihak di atas? Jelas sekali, keberhasilan itu akan memberikan kesmpatan panjang umur bagi bisnis kita. Sejarah telah membuktikan bahwa banyak bisnis   sukses yang usianya jauh melebihi usia para pendirinya. Lalu, bagaimana dengan rejeki?  Tentu saja rejeki yang melimpah  akan kita raih, bila silaturahmi yang dilakukan perusahaan terus berlangsung. Insyaallah.
ü  Pembayaran hutang
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (Al Baqarah 280)
Persoala hutang-piutang merupakan persoalan klasik dalam berbisnis. Wajar bila kita mungkin punya piutang di satu sisi dan sisi lain punya hutang. Persoalan hutang piutang memang akan menjadi masalah kalau tak dikendalikan dengan baik, bahkan menjadi pemicu kolapsnya perusahaan,
Hubungan utang piutang sering menimbulkan perselisihan dengan pihak lain, karena itu harus dicatat dan ada saksi. Surat Al Baqarah 282 cukup rinci membahas ini.
Dalam bisnis seringkali ditemui kredit macet, maka pemberi pinjaman boleh meminta agunan.  Toh demikian, “Sebaik-baik kamu ialah yang paling baik dalam membayar hutangnya.”
Bahkan “Orang kaya yang menunda-nunda (mengulur-ulurkan waktu) pembayaran hutangnya adalah kezaliman”. Kedua hadits itu diriwayatkan Bukhori.

0 komentar:

Posting Komentar