oleh :
RILLA FUSTIKA
BP. 0910842010
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1.
Latar
Belakang
Manusia adalah makhluk social yang
tidak dapat hidup sendiri dalam hal
pemenuhan kebutuhannnya sehingga melibatkan hubungan manusia yang satu
dengan lainnya ataupun hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Interaksi antar
manusia dalam pemenuhan kebutuhannya itulah yang melahirkan Ilmu administrasi,
dimana Administrasi sesuai dengan pengertian bahwa administrasi adalah setiap
kegiatan kerjasama antara dua orang atau lebih, berdasarkan rasionalitas
tertentu, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Prof. Dr. Sondang P.
Siagian). Proses perkembangannya
Ilmu administrasi yang semakin maju dan berkembang sehingga menyebabkan berkembangnya
peradaban dari manusia itu sendiri, dimana pengembangan dan caranya mempunyai
seni masing-masing karena dalam pengelolaan administrasi tidak akan sama antara
manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, begitu juga antara Negara yang
satu dengan Negara lainnya. Misalnya, antara Negara Indonesia (kultur local)
dan Amerika serikat, Inggris, Eropa (kultur barat). Hal itu terjadi sesuai
dengan situasi dan kondisi lingkungan yang mempengaruhinya.
Dalam sejarah perkembangan ilmu
administrasi yang telah maju, penerapan dalam pelaksanaan administrasi negara,
itu dapat dilihat dari beberapa negara maju yang lebih dulu menerapkannya dalam
pengelolaan administrasi negara dengan ciri-ciri masing-masing negara yang
menerapkannya yaitu
1.
Kawasan Eropa daratan
(administrasi continental) dengan ciri-ciri Feodalisme, Sentralistik dan
Monarkhi sentralistik, dimana lebih tepatnya ciri-ciri ini merupakan
pelaksanaan Administrasi pada saat Belanda menjajah negeri Indonesia, dan
ciri-ciri ini pun di dukung dengan Budaya Jawanisme (taat dan setia yang
membabi buta pada atasan dan tidak memikirkan pihak lain sama sekali ;
Pramoedya Ananta Toer) yang memang sangat Feodal, sehingga Belanda dapat bertahan
lama di Indonesia, karena praktek yang dilakukan sangat sesuai dan didukung
oleh Budaya setempat.
2.
Administrasi Publik di
Inggris dengan ciri-ciri ; pada tatanan konvensi dan sistem commonwealth
3.
Administrasi Publik di
Amerika Serikat (Anglo Saxon) dengan ciri-ciri ; Sistem Federal, Kekuasan pusat
terbatas, Pemisahan Eksekutif dengan legislatif dan yudikatif.
Sistem administrasi dari beberapa
negara tersebut lah yang mempengaruhi penerapan sistem administrasi di seluruh
dunia termasuk di Indonesia.
Sehingga dalam perkembangan paradigma Prinsip Administrasi Publik. Kajian dan praktek administrasi publik di berbagai negara terus berkembang. Berbagai perubahan terjadi seiring dengan berkembangnya berbagai persoalan yang dihadapi oleh administrator public sehingga ditanggapilah oleh para teoritisi dengan terus mengembangkan ilmu administrasi publik. Denhardt & Denhardt mengungkapkan bahwa terdapat tiga perspektif atau paradigma dalam administrasi publik. Perspektif tersebut adalah old public administration, new public management, dan new public service yang dapat dikelompokkan menjadi tiga orde/masa yaitu; 1. Old Publik Administration (Birokrasi ; Pra 1970), 2. New Publik Manajemen (pasca 1970), 3. New Public Service (Post 2003). Kemudian berkembang pula paradigma lainnya yaitu Good Governance dan sekarang juga hadir paradigm baru yang melengkapi kegagalan dari Good Governance yaitu Sound Governance.
Sehingga dalam perkembangan paradigma Prinsip Administrasi Publik. Kajian dan praktek administrasi publik di berbagai negara terus berkembang. Berbagai perubahan terjadi seiring dengan berkembangnya berbagai persoalan yang dihadapi oleh administrator public sehingga ditanggapilah oleh para teoritisi dengan terus mengembangkan ilmu administrasi publik. Denhardt & Denhardt mengungkapkan bahwa terdapat tiga perspektif atau paradigma dalam administrasi publik. Perspektif tersebut adalah old public administration, new public management, dan new public service yang dapat dikelompokkan menjadi tiga orde/masa yaitu; 1. Old Publik Administration (Birokrasi ; Pra 1970), 2. New Publik Manajemen (pasca 1970), 3. New Public Service (Post 2003). Kemudian berkembang pula paradigma lainnya yaitu Good Governance dan sekarang juga hadir paradigm baru yang melengkapi kegagalan dari Good Governance yaitu Sound Governance.
1. 2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas
maka permasalahan
penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.
Bagaimana perspektif
historis dari perkembangan paradigma Administrasi Negara mulai OPA, NPM, NPS,
Good Governance dan Sound Governance?
b.
Bagaimana perdebatan
dari masing-masing paradigma Administrasi Negara itu?
c.
Bagaimana perbandingan
antara kultur barat dan kultur local dari masing-masing paradigma Administsrasi
Negara tersebut?
1. 3.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka tujuan penulisan ini yaitu:
a.
Untuk mendeskripsikan tentang
perspektif historis dari perkembangan paradigma Administrasi Negara dari OPA,
NPM, NPS, Goodl Governance dan Sound Governance
b.
Untuk mendeskripsikan
Perdebatan dari masing-masing paradigma Administrasi Negara itu.
c.
Untuk mendeskripsikan
Perbandingan antara kultur barat dan kultur local dalam paradigma Administrasi
Negara tersebut.
1. 4.
Manfaat
Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah
ini antara lain.
- Bagi Penulis : untuk meningkatkan pengetahuan bagi penulis.
- Bagi Pembaca : untuk dijadikan bahan acuan atau referensi bagi pembaca.
- Untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Sistem Administrasi Administrasi negara.
BAB II
PEMBAHASAN
Perkembangan suatu ilmu dapat ditelusuri melalui
perubahan paradigmanya. Menurut Thomas
Kuhn dalam Pasalong (2007: 27)
mengungkapkan bahwa Paradigma merupakan cara pandang, nilai-nilai,.
Metode-metode, prinsip dasar atau cara memecahkan masalah yang dianut suatu
masyarakat ilmiah pada masa tertentu.
Dalam perkembangan ilmu administrasi public, dikenal
juga berbagai paradigma yang menggambarkan adanya perubahan-perubahan dan
perbedaan-perbedaan dalam tujuan, teori dan metodologi serta nilai-nilai yang mendasari.
Beberapa perkembangan ilmu administrasi public, yaitu sebagai
berikut:
A. OLD PUBLIC ADMINISTRATION
(1885-1980)
1.
PERSPEKTIF HISTORIS
Perkembangan Administrasi pulik model klasik dibedakan
menjadi 4(empat) generasi yaitu: Pre Generation ( sampai sebelum 1885),
First Generation (1885 – 1936), Second Generation ( 1937 – 1945), Third
Generation ( setelah 1945).
a.
Pre Generation (Sampai
sebelum 1885)
Dalam Administrasi Publik Pra Generasi termasuk para pemikir seperti
plato, aristoteles dan Machiavelli. Masa ini merujuk pada kondisi yang ada di
daratan Eropa. Pada masa ini sampai dengan kelahiran konsep Negara Bangsa,
penekanan Administrasi Publik didasarkan pada prinsip permasalahan moral dan
kehidupan politik serta pada organisasi dari Administrasi Publik.
Abad I (Pencerahan), terdapat
tiga tokoh yaitu plato, Aristoteles dan Machiavelli mnciptakan sebuah dasar
pemikiran bahwa memiliki etika pelayanan publik dalam prinsip pelayanan pada
Pengawasan kota, wilayah/agora, tempat ibadah (Plato) dan kemudian ditambah
pengawasan daerah pedalaman/ pedesaan oleh Aristoteles. Abad XIV – XVII
(Kegelapan), Pada abad ini ilmu tidak berkembang kareana adanya doktrin gereja.
Abad XVIII – XIX (Pencerahan Kembali/Renaisance)
b.
First Generation (1885 –
1936)
Di daratan Eropa, Wina oleh Lorenz Van Stein (1855) yang
dikenal sebagai Bapak pendiri Ilmu Administrasi. Perkembangan ilmu Administrasi
di Eropa berorientasi pada legal approach. DiAmerika, Oleh Thomas Woodrow
Wilson ( 1856 – 1924) yang dikenal sebagai Bapak pengembang ilmu adminitrasi.
Perkembangan Ilmu Administrasi diAmerika berorientasi pada management Approach.
Wilson dalam Bukunya yang berjudul “ The Study Of Administration”
mengemukakan 4 (empat) konsep yaitu:
- Dikotomi Politik –Administrasi.
- Prinsip-prinsip Administrasi
- Analisis pebandingan antara organisasi politik dan privat melalui skema politik
- Pencapaian manajemen yang efektif malaui pemberian pelatihan – pelatihan pada pegawai negeri dan dengan menilai kualitas mereka.
Tulisan Wilson yang berjudul “ The Study Of
Administration” dikenal dengan tonggak perkembangan Keilmuan Administrasi.
c.
Second Generation ( 1937
– 1945)
Pada generasi kedua diwarnai oleh dua tokoh
yaitu Gulick dan Urwick yang merupakan pendiri Ilmu
Administrasi dengan mengintegrasikan ide dari Henri Fayol kedalam teori
komprehensif Administrasi. Mereka percaya bahwa pemikiran Fayol menawarkan
perlakuan yang sistematis dalam manajemendan bisa diaplikasikan dengan baik
pada manejemen perusahaan maupun untuk ilmu administrasi. Dua disiplin ilmu Gulick
dan Quwick tidak perlu dipisahkan melainkan menjadi sebuah
ilmu tunggal dari adminstrasi yang melewati batas-batas antara sektor privat
dan sektor publik dimana dalam perkembangan selanjutnya Ilmu Administrasi lebih
memfokuskan pada organisasi pemerintahan. Alasan- alasan yang menjadi dasar Ilmu
Administrasi pada saat itu mayoritas berasal dari 14 prinsip dasar dari Fayol.
d.
Third Generation ( setelah 1945)
Generasi ketiga dari
Administrasi Publik model klasik muncul dengan mempertanyakan ide dari Wilson
dan generasi kedua. Pada awalnya pembedaan politik dan administrasi sangat
dipertimbangkan oleh generasi ketiga, namun demikian diskusi terus berlanjut.
Gerakan untuk melakukan perubahan lebih baik yang telah
diprakarsai oleh Woodrow Wilson. Ia menyarankan agar administrasi publik harus
dipisahkan dari dunia politik (dikotomi administrasi publik dengan politik).
Berdasarkan pangalaman Wilson,
Negara terllau memberikan peluang bagi para administrator untuk mempraktekkan
sistem nepotisme dan spoil. Karena ia mengeluarkan dokrin untuk melakukan
pemisahan antara dunia legislative (politik) dengan dunia eksekutif, dimana para
legislator hanya merumuskan kebijakan dan para administrator hanya mengeksekusi
atau mengimplementasikan kebijakan. Sosok birokrasi yang ditawarkan Wilson ini sejalan dengan
jiwa atau semangat bisnis. Wilson menuntut agar para administrator publik
selalu mengutamakan nilai efisiensi.
Perkembangan selanjutnya,
sebagai akibat dari gagalnya intervensi Amerika di Vietnam dan juga skandal
Watergate membuat politik mulai diragukan, dan baru ditahun 1980-an terdapat
pertimbangan yang baik kembali terhadap birokrasi dimana Administrasi Publik
harus memisahkan diri dari politik.
Pre Generation, First Generation, Second Generation dan
Third Generation disebut sebagai Old Public Administration.
2.
KONSEP OLD PUBLIC ADMINISTRATION
Paradigma Old Public administration
juga dapat dilihat melalui model “old chestnuts” dari Peters (1996 dan
2001), dimana Administrasi Publik berdasarkan pada Pegawai Negeri yang politis
dan terinstitusionalisasi; organisasi yang hierarkhis dan berdasarkan
peraturan; penugasan yang permanen dan stabil; banyaknya pengaturan internal;
serta menghasilkan keluaran yang seragam.
3.
PERBANDINGAN KULTUR LOKAL DAN KULTUR BARAT DALAM PARADIGMA OPA
Indonesia merupakan Negara adalah demokrasi.
Dalam prakteknya, selama 32 tahun dari pemerintahan orde baru hingga sekarang,
demokrasi Indonesia itu sangat berlawanan dengan birokrasi yang dijalankan di
Indonesia.
Tiga puluh dua tahun adalah masa yang
tidak sedikit untuk dapat membentuk karakter masyarakat sebuah bangsa. Dampak
pemerintahan yang telah berjalan pada masa itu masih meninggalkan
jejak-jejaknya dan terikat kuat oleh para birokrat kita hingga pada era
demokrasi ini. Contoh nyata yang masih dapat kita rasakan adalah red-tape
birokrasi, yaitu birokrasi yang berbelit-belit, KKN, lamban, tidak sensitif
terhadap kebutuhan rakyat, tidak efisien, prosedur yang panjang dan rumit,
sikap enggan melayani, tertutup, dan lain sebagainya. Hal itu terjadi ketika
birokrasi di Negara ini memiliki keberpihakan pada salah satu partai politik
(Golkar). Pada masa ini, Indonesia menerapkan Old Public Administration.
Terlihat dari pelaksanaan pemerintahan yang sentralistik dan kaku, fokus pemerintahan pada pengiriman langsung dari pelayanan melalui lembaga resmi resmi pemerintahokuskan pada tujuan tunggal, pelayanan publik
terbaik diberikan melalui organisasi hierarkis, dengan para manajer terutama
berolahraga dari puncak organisasi, nilai-nilai utama dari organisasi publik adalah
efisiensi dan rasionalitas, organisasi publik beroperasi sistem sebagai tertutup,
keterlibatan warga negara terbatas.
Red tape birokrasi ini jelas sangat
bertentangan dengan sistem pemerintahan Indonesia yang konon katanya adalah
demokrasi. Apakah demokrasi disini hanya digunakan pada sistem pemilihan umum??
Namun kemudian dalam menjalankan tugasnya mereka masih menganut gaya
pemerintahan zaman orde baru??
Red Tape yaitu penyakit
birokrasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan yang berbelit-belit,
memakan waktu lama, meski sebenarnya bisa diselesaikan secara singkat. Salah satu contoh red tape misalnya pengurusan surat penelitian penghasilan yang harus berurusan
dengan walinagari setempat. Padahal hanya untuk meminta tanda tangan Pak Walinagari
dan stempel kenagarian membutuhkan waktu yang cukup lama dan berbelit-belit dalam
pengurusannya oleh birokrat kita.
Selain itu tentang korupsi. Korupsi juga
masih terjadi pada saat sekarang ini, malah semakin merajalela. Hal ini telah
menjadi rahasia umum yaitu para birokrat sering terlibat di dalamnya dan
menjadi pelaku, baik yang sudah diketahui maupun yang belum terungkap kasusnya.
Jika moralitas tak kunjung membaik, maka tujuan penyelengaraan pemerintahan pun
tak kunjung tercapai.
Ketika dahulu semua lapisan
masyarakat sangat berusaha untuk merubah sistem pemerintahan yang sentralistik dan otoriter. Masyarakat
sangat menginginkan demokrasi yang baik, dimana salah satu penerapan yang telah
dilaksanakan adalah otonomi daerah merupakan wujud dari pemerintahan yang
demokrasi. Kewenagan yang dulu dipegang oleh pemerintah pusat, kini dilimpahkan
kepada pemerintahan daerah yang dianggap sebagai pemerintah yang paling dekat
aksesnya dengan rakyat dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun ketika
otonomi ini sudah dijalankan, kemudian banyak pula terjadi penyimpangan oleh
pemerintah daerah itu sendiri. Seolah jika dahulu hanya pusat saja yang bisa
korupsi, tapi sekarang pejabat di tingkat daerah juga bisa ambil bagian
(korupsi).
Pokok masalah yang masih mengakar adalah
karakter pemerintahan sentralistik para birokrat yang menjalankan roda pemerintahan,
atau disebut Old Public Administration (OPA). Jika pola pikir yang terbentuk
masih dalam paradigma tersebut, maka sampai kapan pun sistem yang ada tak akan
memberi kemajuan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Begitu juga halnya dengan di struktur
Barat, OPA masih kental pengaruhnya terhadap barat. OPA yang cenderung
sentralistik, otokratis dan kaku cenderung berdampak pada Misalnya KKN, red-tape birokrasi, yaitu
birokrasi yang berbelit-belit, KKN, lamban, tidak sensitif terhadap kebutuhan
rakyat, tidak efisien, prosedur yang panjang dan rumit, sikap enggan melayani,
tertutup, dan lain sebagainya.
4.
KRITIK (PERDEBATAN) TENTANG OPA
Paradigma
OPA dikritik oleh paradigma NPM. Secara konseptual OPA berbeda dengan NPM. NPM
mengacu kepada sekelompok ide dan praktik kontemporer untuk menggunakan
pendekatan-pendekatan dalam sektor privat (bisnis) pada organisasi sektor
publik. NPM adalah suatu gerakan yang mencoba menginjeksikan prinsip-prinsip
organisasi sektor privat ke dalam organisasi pemerintah. Pemerintahan yang kaku
dan sentralistik sebagaimana yang dianut oleh OPA harus diganti dengan
pemerintahan yang berjiwa wirausaha dan profitable.
Kritik terhadap The Old
Public Administration
ü Administrasi Publik bersifat tertutup dan keterlibatan masyarakat yang
sangat rendah.
ü Efisiensi sebagai ukuran kerja dan bukannya responsiveness
ü Model Administrasi bersifat top down dan hierarkis
ü Bureaucratic Rational Choice sebagai dasar dalam pengambilan
keputusan
ü Bureaucratic Action yang menimbulkan red tape
B. NEW PUBLIC MANAGEMENT (1980-1990)
1.
PERSPEKTIF HISTORIS NPM
Paradigma Paradigma Reinventing Government juga dikenal
sebagai New Public Management (NPM). Paradigma NPM melihat bahwa paradigma
manajemen terdahulu kurang efektif dalam memecahkan masah dalam memberikan
pelayanan kepada public. Setelah perkembangan Ilmu Administrasi pada
tahun 1980-an kemudian berkembang lagi menjadi New Public Management
khususnya di New Zealand,Australia, Inggris dan Amerika sebagai akibat dari
munculnya krisis kesejahteraan negara. Paradigma ini kemudian menyebar secara
luas khususnya ditahun 1990-an disebabkan adanya promosi dari lembaga
internasional seperti Bank Dunia, IMF, Sekretariat Negara Persemakmuran dan
kelompok- kelompok konsultan manajemen.
Paradigma NPM ini muncul disebabkan sejumlah kekuatan
baik dinegara maju maupun dinegara berkembang . Di negara maju memiliki perkembangan dibidang
ekonomi, social, politik dan lingkungan administrative secara bersama – sama
mendorong terjadinya perubhan radikal dalam sistem manajemen dan Administrasi
Publik. Sasaran utama dari perubahan yang diinginkan adalah peningkatan cara
pengelolaan pemerintah dan penyampaian pelayanan pada masyarakat dengan
penekanan pada efisiensi, ekonomi dan efektivitas. Kemunculan NPM dinegara
berkembang hampir sama dengan negara maju yang dilatar belakangi oleh faktor-
faktor krisis ekonomi dan keuangan, penyesuaian struktur dan kondisional
konteks manajemen dan administrasi Publik, serta konteks politik bagi adanya
reformasi.
2.
KONSEP NPM
Dalam NPM menyediakan banyak pilihan untuk mencapai biaya yang efektif dalm
penyampaian barang public seperti adanya organisasi yang terpisah untuk
kebijakan dan implementasi, kontrak kerja , pasar internal, sub-kontrak dan
metode lainnya. NPM memiliki focus yang kuat terhadap organisasi internalnya
diman berusaha memperbaiki kinerja organisasi sektor public dengan metode yang
digunakan oleh sektor privat.
Karena itu Vigoda dalam Keban (2008: 36), menyatakan bahwa ada tujuh
prinsip-prinsip NPM, yaitu sebagai berikut :
a.
Pemanfaatan manajemen
professional dalam sector publik.
b.
Penggunaan indicator kinerja.
c.
Pergeseran perhatian ke
unit-unit yang lebih kecil.
d.
Pergeseran kompetisi yang lebih
tinggi.
e.
Penekanan gaya sector swasta pada penerapan manajemen.
f.
Penekanan pada disiplin dan
penghematan yang lebih tinggi dalam penggunaan sumber daya.
NPM secara umum dipandang sebagai suatu pendekatan dalam
administrasi publik yang menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh
dalam dunia manajemen bisnis dan disiplin lain untuk mendapatkan efisiensi,
efektivitas, kinerja pelayanan publik pada birokrasi modern.
ORIENTASI NPM
NPM ini telah mengalami berbagai perubahan orientasi
menurut Ferlie, Ashbuerner, Flizgerald dan Pettgrew dalam Keban (2008: 36),
yaitu:
a.
Orientasi The Drive yaitu mengutamakan nilai efisiensi dalam mengutamakan
nilai efisiensi dalam pengukuran kinerja.
b.
Orientasi Downsizing and
Dezentralization yaitu mengutamakan penyedehanaan struktur, memperkaya fungsi
dan mendelegasikan otoritas kapada unit-unit yang lebih kecil agar dapat
berfungsi secara cepat dan tepat.
c.
Orientasi In search of
Excellence yaitu mengutamakan kinerja optimal dengan memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
d.
Orientasi public Service
yaitu lebih menekankan pada kualitas, misi, dan nilai-nilai yang hendak dicapai
organisasi publik, memberikan perhatian yang lebih besar kepada aspirasi,
kebutuhan dan partisipasi “user” dan
warga masyarakat, memberikan otoritas yang lebih tinggi kepada pejabat yang
dipilih masyarakat, termasuk wakil-wakil mereka, menekankan social learning
dalam memberikan pelayanan publik dan
penekanan pada evaluasi kinerja secara berkesinambunga, partisipasi masyarakat
dan akuntabilitas.
3.
PERBANDINGAN KULTUR LOKAL DAN KULTUR BARAT DALAM PARADIGMA NPM
Di dalam sistem pemerintahan dikenal istilah New
Public Management (NPM), yang konsepnya terkait dengan manajemen kinerja
sektor publik, yang mana pengukuran kinerja merupakan salah satu dari
prinsip-prinsipnya. New Public Management pada awalnya lahir di
negara-negara maju di Eropa dan Amerika. Di Inggris,
meningkatnya tekanan atas pemerintah seputar masalah ekonomi seperti
pengangguran dan inflasi memaksa PM Margaret Thatcher meresponnya dengan
mereformasi sektor pemerintahan. NPM menjadi popular di awal 1990-an tatkala
diadopsi oleh administrasi Clinton di Amerika Serikat.
Namun,
negara-negara berkembang juga sudah mulai menggunakan konsep ini, begitu juga
dengan Indonesia yang berusaha menerapkan paradigma NPM tersebut, meski ada
sikap pesimis dari berbagai pihak mengenai kesanggupan penerapannya. Salah satu
yang menonjol adalah adanya reformasi birokrasi di Departemen Keuangan dan
Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam reformasinya, kedua instansi ini berfokus pada
pilar-pilar yang menjadi pokok perubahan birokrasi, yaitu: kelembagaan/organisasi,
proses bisnis, sumber daya manusia, serta prasarana dan sarana. Tidak salah
lagi, bahwa upaya ini dilakukan untuk memperbaiki standar pelayanan umum yang
diberikan kepada publik.
Dalam reformasi
birokrasinya, sebagai penerapan dari NPM, baik Departemen Keuangan maupun Badan
Pemeriksa Keuangan menggunakan konsep Balanced Score Card, yaitu dengan
membentuk strategy map dan key performance indicators (KPI) sebagai standar dan
alat pengukuran kinerja. Bisa dikatakan bahwa dalam konsepnya kedua instansi
ini sukses, hanya saja dalam pelaksanaannya dirasa masih setengah hati,
terlihat dari belum sinkronnya antara program dengan strategi yang dibentuk,
juga antara program dengan KPI, terlebih pada anggarannya pada format DIPA. Hal
ini saling berkaitan, karena money follow functions. Ketika strategi, program
beserta KPI nya terbentuk secara rapi, maka tentunya anggaran akan mengikuti
mekanisme tersebut.
NPM yang memang sukses diterapkan di Amerika Serikat,
Kanada, Inggris dan Seladia baru dan beberapa negara maju lainnya. Tetapi
bagaimana bagaimana penerapannya di negara berkembang?? Kenyataannya, banyak
negara berkembang termasuk Indonesia dan negara miskin, seperti di
negara-negara Afrika yang gagal menerapkan konsep NPM karena tidak sesuai
dengan landasan ideology, politik, ekonomi, dan social budaya negara yang
bersangkutan. Akhirnya negara tersebut tetap miskin dan tidak menunjukkan
adanya tanda-tanda kemajuan.
Terlepas dari apa yang terjadi pada kedua instansi
pemerintahan tersebut, dalam ranah yang lebih luas, NPM ini telah dicoba
diterapkan juga pada Pemerintahan Daerah, yaitu sejalan dengan penerapan
otonomi daerah di Indonesia mulai tahun 2004. Bisa dikatakan, bahwa penerapan
NPM ini memberikan dampak positif pada beberapa hal, misalnya peningkatan
efisiensi dan produktivitas kinerja pemerintahan daerah, yang pada akhirnya
mampu meningkatkan kualitas pelayanan publik. Hal ini dapat dipahami melalui
salah satu karakteristik NPM menurut Christopher Hoods, yaitu menciptakan
persaingan di sektor publik. Sehingga apa yang dilakukan oleh pemerintahan
daerah adalah berusaha bersaing untuk memberikan pelayanan yang berkualitas
kepada masyarakat, dan pada gilirannya, publiklah yang diuntungkan atas upaya
ini.
4.
KRITIK/ PERDEBATAN TERHADAP NPM
Perspektif new
public management memperoleh kritik keras dari banyak pakar seperti Wamsley
& Wolf (1996), Box (1998), King & Stivers (1998),
Bovaird & Loffler (2003), dan Denhardt & Denhardt
(2003). Mereka memandang bahwa perspektif ini, seperti halnya perspektif old
public administration, tidak hanya membawa teknik administrasi baru namun
juga seperangkat nilai tertentu. Masalahnya terletak pada nilai-nilai yang
dikedepankan tersebut seperti efisiensi, rasionalitas, produktivitas dan bisnis
karena dapat bertentangan dengan nilai-nilai kepentingan publik dan demokrasi.
Jika pemerintahan
dijalankan seperti halnya bisnis dan pemerintah berperan mengarahkan tujuan
pelayanan publik maka pertanyaannya adalah siapakah sebenarnya pemilik dari
kepentingan publik dan pelayanan publik? Atas dasar
pemikiran tersebut Denhardt & Denhardt memberikan kritik
terhadap perspektif new public management sebagaimana yang tertuang
dalam kalimat “in our rush to steer, perhaps we are forgetting who owns the
boat.”.
Menurut Denhardt & Denhardt,
karena pemilik kepentingan publik yang sebenarnya adalah masyarakat maka
administrator publik seharusnya memusatkan perhatiannya pada tanggung jawab
melayani dan memberdayakan warga negara melalui pengelolaan organisasi publik
dan implementasi kebijakan publik. Perubahan orientasi tentang posisi warga negara, nilai yang dikedepankan,
dan peran pemerintah ini memunculkan perspektif baru administrasi publik yang
disebut sebagai new public service.
Warga negara
seharusnya ditempatkan di depan, dan penekanan tidak seharusnya membedakan
antara mengarahkan dan mengayuh tetapi lebih pada bagaiamana membangun
institusi publik yang didasarkan pada integritas dan responsivitas. Pada intinya, perspektif baru ini merupakan “a set of idea about
the role of public administration in the governance system that place
public service, democratic governance, and civic engagement at the
center.”
C. NEW PUBLIC SERVICES (1990- sekarang)
1.
PERSPEKTIF HISTORIS
New Public Service merupakan perkembangan lebih lanjut dari New
Public Manajemen pada 1990-an yaitu setelah Administrasi publik yang
menggunakan konsep pemerintahan yang efisien dengan banyak pilihan untuk
mencapainya kemudian Administrasi berkembang menjadi lebih inovatif .
Secara praktek, gerakan
manajerialis memperoleh pengaruh besar dalam reformasi administrasi publik di
berbagai negara maju, seperti Selandia Baru, Australia, Inggris, dan Amerika
Serikat. Di Inggris, reformasi administrasi publik dijalankan sejak masa PM Margaret
Thatcher. Dukungan intelektual dalam gerakan ini di Inggris tampak dari
karya Emmanual Savas dengan “Privatization”nya, Normann
Flynn dengan “Public Sector Management”nya. Di Amerika
Serikat, gerakan ini memperoleh popularitas besar berkat karya terkenal David
Osborne dan Ted Gaebler, Reinventing Government.
Gerakan ini menyebar ke seluruh dunia sehingga menjadi inspirasi utama di
banyak negara dalam mereformasi administrasi publik baik dengan melakukan
privatisasi gaya Inggris atau dengan gerakan mewirausahakan birokrasi gaya
Amerika Serikat.
Pada tahun 2003, atau lebih kurang sepuluh tahun
kemudian muncul lagi paradigma baru dalam administrasi publik yaitu New Public
Service oleh J.V Denhardt & R.B.
Denhardt (2003). Keduanya menyarankan untuk meninggalkan prinsip
administrasi klasik atau Old Public Administration
dan Reinventing Government atau New Public Manajement, dan beralih ke Prinsip New Public Service. Menurut
Denhart dalam Pasalong (2007:35), berjudul “The
New Public Service : Seving, not Stering”. Pada halaman pendahuluan
menyatakan NPS lebih diarahkan pada democracy,
pride and citizen dari pada market,
competition and customers seperti sector privat. Beliau menyatakan “public servants do not deliver customers
service, they deliver democracy”. Oleh sebab itu nilai-nilai demokrasi,
kewarganegaraan dan pelayanan untuk kepentingan publik sebagai normamendasar
lapangan administasri publik.
2.
KONSEP NEW PUBLIC SERVICES
Menurut Denhardt dan
Denhardt, karena pemilik kepentingan publik yang sebenarnya
adalah masyarakat maka administrator publik seharusnya memusatkan perhatiannya
pada tanggung jawab melayani dan memberdayakan warga negara melalui pengelolaan
organisasi publik dan implementasi kebijakan publik. Perubahan orientasi
tentang posisi warga negara, nilai yang dikedepankan, dan peran pemerintah ini
memunculkan perspektif baru administrasi publik yang disebut sebagai New
Public Service.
Perspektif new public
service mengawali pandangannya dari pengakuan atas warga negara
dan posisinya yang sangat penting bagi kepemerintahan demokratis. Jati diri warga
negara tidak hanya dipandang sebagai semata persoalan kepentingan pribadi (self
interest) namun juga melibatkan nilai, kepercayaan, dan kepedulian terhadap
orang lain. Warga negara diposisikan sebagai pemilik pemerintahan (owners of
government) dan mampu bertindak secara bersama-sama mencapai sesuatu yang
lebih baik. Kepentingan public tidak lagi dipandang sebagai agregasi
kepentingan pribadi melainkan sebagai hasil dialog dan keterlibatan publik
dalam mencari nilai bersama dan kepentingan bersama. Perspektif new public
service menghendaki peran administrator publik untuk melibatkan masyarakat
dalam pemerintahan dan bertugas untuk melayani masyarakat.
Perspektif new public service memberikan dalam
administrasi publik. Perubahan ini pada dasarnya menyangkut perubahan dalam
cara memandang masyarakat dalam proses pemerintahan, perubahan dalam memandang
apa yang dimaksud dengan kepentingan masyarakat, perubahan dalam cara bagaimana
kepentingan tersebut diselenggarakan, dan perubahan dalam bagaimana administrator
publik menjalankan tugas memenuhi kepentingan publik. Perspektif ini
mengedepankan posisi masyarakat sebagai warga negara dalam konteks
penyelenggaraan pemerintahan. Perspektif ini membawa upaya demokratisasi
administrasi publik. Pelayanan kepada masyarakat merupakan tugas utama bagi
administrator publik sekaligus sebagai fasilitator bagi perumusan kepentingan
publik dan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan.
Denhardt (2003), The Public Services memuat ide pokok sebagai
berikut;
1)
Serve Citizen, Not Customers :
Kepentingan publik adalah hasil dari sebuah dialog tentang pembagian nilai dari pada kumpulan dari kepentingan
individu. Oleh karena itu aparatur dari pelayanan publik tidak hanya merespon
keinginan pelanggan, tetapi lebih focus kepada pembangunan kepercayaan dan
koloborasi dengan ddan antara warga Negara (citizen).
2)
Seek the Public Interest:
Administrasi Publik harus memberikan kontribusi untuk membangun kebersamaan,
membagi wawasan dari kepentingan publik, tujuannya adalah tidak hanya untuk menemukan
pemecahan yang cepat yang dikendalikan oleh pilihan-pilihan individu. Tetapi
lebih dari itu, tujuannya adalah kreasi dari pembagian kepentingan dan
tangguung jawab.
3)
Value Citizenship over
entrepeurship : Kepentingan publik adalah dimajukan oleh komitmen aparatur
pelayanan publik dan warga Negara untuk membuat kontribusi lebih berarti dari
pada oleh gerakan pada manajer swasta sebagai bagian dari keuntungan publik
yang menjadi milk Negara.
4)
Think Strategically, Act
Democracally : Pertemuan antara kebijakan dan program agar bisa dicapai secara
lebih efektif dan berhasil secara bertanggung jawab mengikuti upaya bersama dan
proses-proses kebersamaan.
5)
Recognized that Accountability
Is Not Simple: Aparatur pelayanan publik seharusnya penuh perhatian lebih baik
dari pada pasar. Mereka juga harus mengikuti peraturan perundangan dan
konstitusi, nilai-nilai masyarakat, norma politik, standar professional dan
kepentingan warga Negara.
6)
Serve Rather than Steer :
Semakin bertambah penting bagi pelayanan publik untuk menggunakan andil, nilai
kepemimpinan mendasar dan membantu warga mengartikulasikan dan mempertemukan
kepentingan yang menjadi bagian mereka lebih dari pada berusaha untuk
mengontrol aau mengendalikan masyarakat pada petunjuk baru.
7)
Value People, Not Just
Productivity ; Organisasi publik dan kerangka kerjanya dimana mereka
berpartispasi dan lebih sukses dalam kegiatannya kalau mereka mengoperasikan
sesuai proses kebersamaan dan mendasarkan diri pada kepemimpinan yang hormat
pada semua orang.
3.
PERBANDINGAN KULTUR LOKAL DAN KULTUR BARAT DALAM PARADIGMA NPS
Dalam NPS ini memfokuskan pada peran pemerintah pada
aspek pelayanan public. Padahal urusan pemerintah tidak hanya berkaitan dengan
pelayanan public tetapi juga bersangkutan dalam pembangunan dan meningkatkan
kesejahteraan msyarakat. Di negara
–negara maju atau berkembang seperti amerika, inggris dan Selandia baru yang
tidak lagi berkutat pada upaya percepatan pembangunan dan peningkatan
pertumbuhan karena negara-negar tersebut sudah relative stabil maka pelanan
public menjadi program prioritas yang strategis. Namun negara-negara berkembang
seperti diIndonesia pelayanan public
mengejar pertumbuhan dan meningkatkan pembangunan.
Bentuk penerapan NPS lainnya di Indonesia yaitu Citizen
Charter (Kontrak pelayanan). Citizen Charter ini telah diterapkan di Provinsi
Yogyakarta tahun 2003. Citizen Charter
ini harus melibatkan masyarakat, LSM, DPRD, Pers, Tokoh masyarakat, dalam
merumuskan pelayanan yang baik untuk masyarakat. Studi kasusnya seperti yang
telah diterapkan di Provinsi Yogyakarta ini yaitu KTP. Dengan adanya citizen
charter ini, masyaakat dapat memperoleh pelayanan yang baik dalam pembuatan dan
pengurusan KTP dalam bentuk biaya administrasi yang gratis dan proses
pembuatannya minimal 3 hari. Apabila pihak pemberi layanan dalam pengurusan KTP
ini melanggar kontrak pelayanan yang telah ditetapkan bersama, maka sesuai kesepakatan pihak pihak pemberi
layanan akan dikenakan sanksi oleh pihak yang terlibat dalam kesepakatan
Citizen Charter.
4.
PERDEBATAN / KRITIK DALAM NEW PUBLIC SERVICES
NPS adalah
cara pandang baru dalam administrasi Negara yang mencoba menutupi kelemahan
dari paradigma OPA dan NPM. Ada beberapa kelemahan dari NPS itu yaitu:
a.
Pendekatan politik dalam
administrasi Negara
Secara
epistemologis bahwa NPS itu berakar dari filsafat politik tentang demokrasi.
Denhart dan Denhart menspsesifikasikan menjadi demokrasi kewargaaan yang
berorientasi pada kepentingan warga Negara secara keseluruhan. Warga Negara
memilki hak penuh memperoleh perhatian dari pemerintah dan warga Negara berhak
melibatkan dalam setiap proses pemerintahan (politik dan pengambilan
kebijakan).
Denhart dan Denhart berhasil mencari akar
mengapa pemerintah harus melayani bukan mengarahkan, mengapa pemerintah
memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai warga Negara bukan sebagai
pelanggan, tetapi mereka lupa bahwa pemikiran politik telah masuk dalam upaya
pencarian administrasi Negara -
pelayanan public. Lebih jauh, Denhart dan Denhart telah mundur beberapa langkah
dalam paradigma tiga Administrasi Negara yaitu Administrasi Negara sebagai ilmu
politik. Padahal dengan NPS sebagai antitesa dari NPM berarti mereka menyakini
bahwa administrasi Negara telaha melewati paradigma 5. Sebenarnya Denhart dan
Denhart tidak salah mencari akar paradigma NPS dimana Administrasi Negara
dipengaruhi oleh ilmu politik tetapi
merewindnya harus diwaspadai. Seharusnya Denhart dan Denhart dapat
menkonstantakannya dengan NPM. Misalnya, Denhart dan Denhart dapat meykinkan
orang lain untuk bertanggung jawab melayani masyarakat sebagai warga
negara karena pada awalnya warga
negaralah yang mendirikan negara dan kemudian menjalankannya serta terikat
dengan aturan-aturan negara.
b.
Standar ganda dalam mengkritik
NPM
NPS berusaha
untuk mengkritik NPM, tetapi tidak tegas karena kritikan terhadap NPS hanyalah kritikan filosofis- Ideologis bukan
kritik terhadap pelaksaan NPM yang gagal di banyak negara. NPM memang sukses
diterapkan di Amerika Serikat, Kanada, Inggris dan Seladia baru dan beberapa
negara maju lainnya. Ttapi bagaimana bagaimana penerapannya di negara
berkembang?? Kenyataannya, banyak negara berkembang termasuk Indonesia dan
negara miskin, seperti di negara-negara Afrika yang gagal menerapkan konsep NPM
karena tidak sesuai dengan landasan ideology, politik, ekonomi, dan social
budaya negara yang bersangkutan. Akhirnya negara tersebut tetap miskin dan
tidak menunjukkan adanya tanda-tanda
kemajuan.
Denhart dan
Denhart mengkritik NPS sebagai konsep yang salah dalam memandang masyrakat yang
dilayani. NPM memandang nasyarakat yang dilayani sebagai customer sedangkan NPS
menganggap masyarakat yang dilayani sebagai warga negara. Namun Denhart dan
Denhart lupa mencari akar ideologis, mengapa NPM memiliki perspektif demikian
dalam memandang subjek pelayanan? Mengapa NPM menawarkan jurus privatisasi,
liberalisasi, deregulasi, untuk mendongkrak kinerja pemerintah?? Tidak bisa
dipungkiri NPM adalah anak ideologis neoliberalisme yang mencoba menerapkan
mekanisme pasar dan berupaya secara sistematis mereduksi peran pemerintah
sehingga pemerintah menurut konsep berada dibelakang kemudi kapal sedangkan
kaplanya dijalankan oleh oragan-organ di dalam pemerintah.
Dalam konsep
NPS yang diajukan oleh Denhart dan Denhart bahwa nilai-nilai neoliberalisme NPM
tidak hilang secara otomatis. Ketika pemerintah melayani masyarakat sebagai
warga negara misalnya aspek privatisasi bisa saja tetap berlangsung asalkan
atas nama melayani kepnetingan warga negara bukan pelanggan. Misalnya, sekotor
pendidikan dapat diprivatisasikan asalakn pendidikan tetap melayani masyarakat
sebagai warga negara bukan pelanggan.
c.
Aplikasi NPS masih diragukan
Prinsip NPS
belum tentu bisa di aplikasikan pada semua tempat, situasi dan kondisi.
Administrasi negara sangat dipengaruhi oleh factor lingkunga (Ideologi,
politik, hukum, ekonomi, militer dan social bidaya) sehingga suatu paradigma
yang sukses di suatu tempat belum tentu berhasil diterapkan pada temapt lain.
Prinsip-prinsip NPS terlalu abstrak dan perlu dikonkritkan lagi. Prinsip dasar
NPS barangkali bisa diterima semua pihak namun bagaimana prinsip itu bisa
diimplementasikan sangat bergantung pada aspek lingkungan.
Lagi pula
NPS terlalu memfokuskan pada peran pemerintah pada aspek pelayanan public.
Padahal urusan pemerintah tidak hanya berkaitan dengan pelayanan public tetapi
juga bersangkutan dalam pembangunan dan meningkatkan kesejahetraan msyarakat Di
negara –negara maju atau berkembang seperti amerika, inggris dan Selandia baru
yang tidak lagi berkutat pada upaya percepatan pembangunan dan peningkatan
pertumbuhan karena negara-negar tersebut sudah relative stabil maka pelanan
public menjadi program prioritas yang strategis. Namun negara-negara berkembang
pelayanan public mengejar pertumbuhan dan meningkatkan pembangunan.
NPS
merupakan paradigma yang berakar dari teori kewargaan, model komunitas, dan
masyarakat sipil. NPS memiliki perbedaan karakteristik OPA dan NPM. NPS
berusaha menutupi kekurangan-kekurangan pada paradigma OPA dan NPM dengan
menawarkan sejumlah opsi. Inti dari paradigma NPS adalah meredeposisi peran
negara dan pemerintah dalam memberikan pelayanan public yang baik. Nalar politik sangat kental dalam mencari
akar NPS. Namun NPS sendiri alpa dalam mengkaji landasan fisiologis-ideologis
sehingga NPM berbeda dengan NPM.
D. GOOD GOVERNANCE
1.
PERSPEKTIF HISTORIS GOOD GOVERNANCE
Pada tahun 1990-an , dampak penekanan yang tidak
pada tempatnya terhadap efisiensi dan ekonomis dalam pengelolaan dalam masalah
–masalah public mulai menyebabkan menurunnya penyampaian pelayanan public
kepada masyarakat khususnya menyangkut barang-barang yang bersifat public (public
goods).
Konsep good
governance bermula dari konsep governance oleh Stoker. Menurut Stoker (1998),
konsep governance merujuk kepada pengembangan dari gaya memerintah dimana
batas-batas antara dan diantara sector public dan sector privat menjadi kabur
(Ewalt,2001). Pengaburan batas-batas ini sejalan dengan kebutuhan dari Negara
modern untuk lebih melibatkan mekanisme politik dan pengakuan akan pentingnya
isu-isu menyangkut empati dan perasaan dari public untuk terlibat sehingga
memberikan kesempatan bagi adanya mobilisasi baik secara social maupun politik
(Stoker, 2004). Hal ini yang kemudian membuat partisipasi melalui pembangunan
jejaring antara pemerintah dan masyarakat menjadi aspek yang sangat penting
bagi keberlanjutan sebuah legitimasi kebijakan (Stoker,2004).
Konsep governance
ini kemudian berkembang menjadi good governance- seperti yang kita kenal
sekarang- dalam rangka membedakan implementasinya anatara yang “baik” (good)
dengan yang “buruk” (bad). Good governance menurut Plumptre and Graham (1999)
merupakan model daeri governance yang mengarahkan kepada hasil ekonomi dan
social sebagaimana dicari oleh masyarakat
Dalam konsep
Governance, peran pemerintah, sektor privat dan masyarakat sama penting diman
pemerintah berperan untuk menciptakan situasi politi dan hukum yang kondusif,
sektor privat berperan dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan
pendapatan, kemudian masyarakat berperan dalam memfasilitasi interaksi secara
social dan politik bagi mobilitas individu atau kelompok- kelompok masyarakat
untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, social dan politik.
2.
KONSEP GOOD GOVERNANCE
Pengertian dari good governance dapat dilihat dari
pemahaman yang dimiliki baik oleh IMF maupun World Bank yang melihat Good
Governance sebagai sebuah cara untuk memperkuat “kerangka kerja institusional
dari pemerintah” (Bappenas,2002). Hal ini menurut mereka berarti bagaimana memperkuat aturan hukum dan
prediktibilitas serta imparsialitas dari penegakannya (Bappenas,2002). Ini juga
berarti mencabut akar dari korupsi dan aktivitas-aktivitas rent seeking, yang
dapat dilakukan melalui transparansi dan aliran informasi serta menjamin bahwa
informasi mengenai kebijakan dan kinerja dari institusi pemerintah dikumpulkan
dan diberikan kepada masyarakat secara memadai sehingga masyarakat dapat
memonitor dan mengawasi manajemen dari dana yang berasal dari masyarakat
(Bappenas, 2002). Pengertian ini sejalan dengan pendapat Bovaird and Loffler
(2003) yang mengatakan bahwa good governance mengusung sejumlah isu seperti :
keterlibatan stakeholder; transparansi; agenda kesetaraan (gender; etnik; usia;
agama; dan lainnya); etika dan perilaku jujur; akuntabilitas; serta
keberlanjutan.
Berdasarkan pengertian di atas, good governance
memiliki sejumlah cirri sebagai berikut (Bappenas, 2002) :
ü Akuntabel, artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus
disertai pertanggung jawabannya.
ü Transparan, artinya
harus tersedia informasi yang memadai kepada masyarakat terhadap proses
pembuatan dan pelaksanaan kebijakan.
ü Responsif, artinya dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan
harus mampu melayani semua stakeholder.
ü Setara dan inklusif, artinya seluruh anggota masyarakat tanpa
terkecuali harus memperoleh kesempatan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan
sebuah kebijakan.
ü Efektif dan efisien,
artinya kebijakan dibuat dan dilaksanakan dengan menggunakan
sumberdaya-sumberdaya yang tersedia dengan cara yang terbaik.
ü Mengikuti aturan hokum, artinya dalam proses pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan membutuhkan kerangka hokum yang adil dan ditegakkan.
ü Partisipatif, artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus
membuka ruang bagi keterlibatan banyak actor.
ü Berorientasi pada consensus (kesepakatan, artinya pembuatan dan
pelaksanaan kebijakan harus merupakan hasil kesepakatan bersama diantara para
actor yang terlibat.
3.
PERBANDINGAN DAN KRITIKAN KULTUR LOKAL DAN KULTUR BARAT DALAM
PARADIGMA GOOD GOVERNANCE
Dalam
penerapannya Good Governance tidak cocok diterapkan di Indonesia, karena
beberapa hal, yaitu:
a.
Ide yang menonjol dari
Good Governane adalah justru demokrasi liberal dan kapitalisme sebagaimana yang
diterapkan dalam kultur barat sedangkan di Indonesia itu sendiri menganut
Demokrasi pancasila. Hal itu terdapat perbandingan yang signifikan dari
Ideologi yang dianut antara kultur barat dan kultur local di Indonesia.
b.
Adanya perilaku
predator (pencurian sumber daya lewat kontrak)
Pemerintah harus bekerja sama dengan privat
(swasta). Kontrak dengan privat ini terlihat dalam kegiatan menghibahkan saham
dari pihak swasta untuk memperbaiki Negara Indonesia. Sewaktu privat menanamkan
sahamnya, secara tidak langsung pihak privat mencuri sumber daya.
c.
Distribusi otonomi
kekuasaan state, privat dan society tidak memecahkan permasalahan Negara karena
kesejahteraan rakyat tidak bisa dijamin lewat pendistribusian kekuasaan Negara
pada mekanisme pasar. Institusi akan lemah karena penyurutan atutan dan
kekuatan. Misalnya, PLN yang telah di privatisasikan. Dalam hal ini,
privatisasi PLN ini bertujuan agar listrik dapat dinikmati oleh masyarakat
Indonesia, namun pada kenyataannya setelah diprivatisasikan, PLN malah
menaikkan biaya listrik sehingga beberapa massyarakat kalangan bawah di
Indonesia tidak dapat menikmati listrik.
E. SOUND GOVERNANCE
1.
PERSPEKTIF HISTORIS
Setelah Good Governance berhasil mengurangi kesenjangan
di tingkat domestik, Ada beberapa pertanyaan-pertanyaan mendasar yang
perlu diperhatikan yaitu:
- Lantas bagaimana dengan kesenjangan internasional?
- Bila Good Governance telah berhasil mengadilkan distribusi kekuasaan dan dana di tingkat lokal, apakah hal yang sama juga telah terjadi di tingkatan global?
- Bila orang miskin di negara berkembang telah memiliki media untuk bernegosiasi dengan orang kaya, apakah negara-negara miskin telah memiliki media yang sama?
- Berbagai prinsip ideal Good Governance, apakah juga sudah diimplementasikan dalam tataran internasional?
Pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebutlah yang
mengilhami Ali Farazmand (2004) dalam menggagas konsep Sound Governance
yang sekaligus membuka arah baru bagi pembangunan global ke depan. Setelah Good
Governance berhasil menginklusifkan hubungan si kaya dan si miskin di tingkat
nasional, maka fase berikutnya adalah menginklusifkan hubungan negara kaya
dengan negara miskin melalui agenda Sound Governance.
Sound Governance hadir untuk melengkapi kegagalan konsep
Good Governance yang sudah berlaku selama ini. Sound Governance melihat
bahwa upaya merestrukturisasi pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat
secara domestik dengan mengabaikan peran aktor internasional adalah
pengingkaran atas realitas global. Dampak dari pengingkaran ini adalah banyaknya variabel, yang sebenarnya
sangat penting, tidak masuk ke dalam hitungan. Variabel yang absen itu adalah
kearifan lokal (akibat hegemoni terma ‘Good’ oleh Barat) dan dampak dari
kekuatan kooptatif internasional. Ruang kosong inilah yang coba diisi oleh
sebuah paradigma baru yang di sebut Sound Governance.
Sepuluh tahun lalu di depan
Konferensi PBB, Presiden Tanzania Julius K. Nyerere, dengan lantang telah
mengkritik habis-habisan Good Governance yang dikatakanya sebagai konsep
imperialis dan kolonialis. Good Governance hanya akan mengerdilkan struktur
negara berkembang, sementara kekuatan bisnis dunia makin membesar. Terlepas
dari benar salahnya kritik sang Presiden, tapi gugatannya terhadap pengaruh
struktur global terhadap reformasi pemerintahan inilah yang mengilhami
Farazmand untuk tidak hanya terfokus pada tiga aktor (pemerintah, pasar dan
civil society) tetapi juga kekuatan internasional.
2.
KONSEP TENTANG SOUND GOVERNANCE
Kata “Sound” menggantikan “Good” adalah juga dalam
rangka penghormatan terhadap kenyataan keragaman (diversity). Saat istilah
“Good” yang dipakai maka didalamnya terjadi pemaksaan standar nilai. Berbagai
proyek dari World Bank, ADB dan UNDP tentang GG juga telah memiliki alat ukur
matematis tentang indikator “Good”.
Konsep “Sound” itu bisa diartikan layak, pantas atau
ideal dalam konteksnya. Dalam pepatah Jawa disebut empan papan. SG pada
prinsipnya juga memberikan ruang bagi tradisi atau invoasi lokal tentang
bagaimana negara dan pemerintahan harus ditata, sesuai dengan kebiasaan, budaya
dan konteks lokal. Tentu ukuran universal tentang kesejahteraan rakyat dan
penghormatan hak dasar harus tetap ditegakkan.
Sound Governance (tata pemerintahan yang layak) adalah
ide yang masih baru dan belum bisa dibilang matang. Tetapi setidaknya ia telah
membuat tuduhan kritik tanpa solusi menjadi tak lagi beralasan. Sehingga masih
banyak ruang untuk berkreasi dan berkontribusi bagi intektual-intektual muda
negeri ini. Ia memang tidak dimunculkan murni dari bangsa ini, tetapi ia juga
bukan merupakan wajah baru dari dominasi dunia barat yang selama ini
menghegemoni seperti halnya GG. SG adalah konsep tata pemerintahan yang santun
secara epistimologis. Karena ia membuka ruang dialog yang sangat luas bagi
keragaman ide dan praktek tentang makna demokrasi untuk muncul kepermukaan.
a.
membangun inklusifitas relasi
politik antara Negara.
b.
civil society
c.
bisnis;
d.
kekuatan internasional yang mencakup
kerjasama global, organisasi dan perjanjian internasional.
Sedangkan lima komponen Sound Governance adalah
a.
Reformasi struktur
Struktur adalah sebuah badan dari unsur-unsur pokok, aktor, ketentuan, peraturan, prosedur, keputusan-pembuatan kerangka kerja dan sumber-sumber berwenang bahwa sanksi atau mengesahkan proses pemerintahan. Ini perwujudan struktur yang dibentuk dan menjalankan baik secara vertikal dan horizontal dan dipengaruhi oleh banyak faktor internal dan eksternal, lokal dan internasional dan memaksa.
Proses menjelaskan bagaimana tata kelola pemerintahan bekerja, sedangkan struktur mendefinisikan dan memberi petunjuk untuk proses. Tata kelola yang baik memiliki struktur yang solid, informasi, legitimative, kompeten dan dinamis dalam bentuk dan isi. Dalam pemerintahan umum, misalnya, para pejabat penting, dipilih dan diangkat, para pemangku kepentingan, organisasi nonpemerintah, badan masyarakat, media, masyarakat madani, sektor swasta, dan lembaga dalam negeri dan internasional / global atau kekuasaan adalah bagian-langsung atau tidak langsung-dari struktur pemerintahan dan begitu juga aturan dan cara aturan yang ditetapkan.
b.
Proses
Sound governance menyangkut tentang proses yang mengatur tentang dengan
interaksi dari seluruh elemen atau pihak yang terlibat dan begitu jugal halnya dengan
makna dari Good governane. Namun Sound Governance ini bukan hanya membahas tentang proses internal maupun eksternal, tetapi
juga memiliki struktur.
c.
nilai
d.
kebijakan
e.
manajemen.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Semua
paradigma di atas menunjukkan bahwa dalam dua dasawarsa terakhir, telah terjadi
perubahan orientasi administrasi publik yang sangat cepat. Kegagalan yang
dihadapi oleh suatu Negara, telah disadari sebagai akibat dari ketidak beresan
administrasi publik. Ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap pengaruh
administrasi publik semakin tinggi. Dapat dikatakan bahwaparadigmana NPM
orientasinya krpada kepuasan pelanggan sedangkan NPS orientasinya kepada
kualitas pelayanan publik. Sedangkan sound Governance (tata pemerintahan yang
layak) adalah ide yang masih baru dan belum bisa dibilang matang. Tetapi
setidaknya ia telah membuat tuduhan kritik tanpa solusi menjadi tak lagi
beralasan. Sehingga masih banyak ruang untuk berkreasi dan berkontribusi bagi
intektual-intektual muda negeri ini. SG adalah konsep tata pemerintahan yang
santun secara epistimologis. Karena ia membuka ruang dialog yang sangat luas
bagi keragaman ide dan praktek tentang makna demokrasi untuk muncul kepermukaan
Menurut Esman (1991) menyarankan untuk menerapkan
pluralistic strategy” yang memperhitungkan kebhinekaan dalam setiap Negara
sedang berkembang. Strategi ini penting untuk menghindari prismatic
contradiction yaitu tumpang tindih antara sistem budaya tradisional (Negara
berkembang) dengan sistem budaya modern (Barat).[1]
DAFTAR PUSTAKA
Keban,
Yeremias T. 2008. Enam Dimensi Strategis
Administrasi Publik : Konsep, Teori dan Isu. Yogyakarta
: Gava Media
Pasalong,
Harbaini. 2007. Teori Administrasi Publik.
Bandung :
Alfabeta
Sundarso,
dkk. 2006. Teori Administrasi Publik.
Jakarta :
Universitas Terbuka
Syafiie,
Inu Kencana. 2003. Sistem Administrasi Negara
Republik Indonesia
(SANRI). Bandung
:Bumi Aksara
_________________. 2006. Ilmu Administrasi Publik. Jakarta : Rvineka
Cipta
Thoha, Miftah. 2009. Teoti Administrasi
Kontemporer. Jakarta : Kebcaba
Mazdaliva, Ayudya Fitria. 2011.Sejarah
perkembangan Administrasi Publik (Artikel). Diakses
melalui situs http://ayudyafitriamasdalifa.blogspot.com
tanggal 27 Juni 2011
Chaerunisa, Julia. 2010. Gejala Gejala Old Public Administration yang Masih Tertinggal.Brebes (Jawa Tengah) : Blogspot.com diakses melalui http://juliachaerunisa.blogspot.com/2010/12/birokrasi-di-indonesia-gejala- old.html pada tanggal 22 Juni 2011 pukul 13.00 wib
[1]Keban, Yeremias T, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep, Teori dan Isu
( Yogyakarta, 2008) hlm. 243
matari ini sangat bagus untuk mata kuliah TO, kami jadikan salah satu materi kuliah. tkasih
BalasHapus