Selasa, 01 April 2014

PERBANDINGAN PARADIGMA ADMINISTRASI PUBLIK ANTARA KULTUR LOKAL DAN STRUKTUR BARAT





oleh :

RILLA FUSTIKA
BP. 0910842010
                                     


BAB I
PENDAHULUAN
1. 1.          Latar Belakang
      Manusia adalah makhluk social yang tidak dapat hidup sendiri dalam hal  pemenuhan kebutuhannnya sehingga melibatkan hubungan manusia yang satu dengan lainnya ataupun hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Interaksi antar manusia dalam pemenuhan kebutuhannya itulah yang melahirkan Ilmu administrasi, dimana Administrasi sesuai dengan pengertian bahwa administrasi adalah setiap kegiatan kerjasama antara dua orang atau lebih, berdasarkan rasionalitas tertentu, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Prof. Dr. Sondang P. Siagian).         Proses perkembangannya Ilmu administrasi yang semakin maju dan berkembang sehingga menyebabkan berkembangnya peradaban dari manusia itu sendiri, dimana pengembangan dan caranya mempunyai seni masing-masing karena dalam pengelolaan administrasi tidak akan sama antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, begitu juga antara Negara yang satu dengan Negara lainnya. Misalnya, antara Negara Indonesia (kultur local) dan Amerika serikat, Inggris, Eropa (kultur barat). Hal itu terjadi sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan yang mempengaruhinya. 
      Dalam sejarah perkembangan ilmu administrasi yang telah maju, penerapan dalam pelaksanaan administrasi negara, itu dapat dilihat dari beberapa negara maju yang lebih dulu menerapkannya dalam pengelolaan administrasi negara dengan ciri-ciri masing-masing negara yang menerapkannya yaitu
1.      Kawasan Eropa daratan (administrasi continental) dengan ciri-ciri Feodalisme, Sentralistik dan Monarkhi sentralistik, dimana lebih tepatnya ciri-ciri ini merupakan pelaksanaan Administrasi pada saat Belanda menjajah negeri Indonesia, dan ciri-ciri ini pun di dukung dengan Budaya Jawanisme (taat dan setia yang membabi buta pada atasan dan tidak memikirkan pihak lain sama sekali ; Pramoedya Ananta Toer) yang memang sangat Feodal, sehingga Belanda dapat bertahan lama di Indonesia, karena praktek yang dilakukan sangat sesuai dan didukung oleh Budaya setempat.

2.      Administrasi Publik di Inggris dengan ciri-ciri ; pada tatanan konvensi dan sistem commonwealth
3.      Administrasi Publik di Amerika Serikat (Anglo Saxon) dengan ciri-ciri ; Sistem Federal, Kekuasan pusat terbatas, Pemisahan Eksekutif dengan legislatif dan yudikatif.

            Sistem administrasi dari beberapa negara tersebut lah yang mempengaruhi penerapan sistem administrasi di seluruh dunia termasuk di Indonesia.
Sehingga dalam perkembangan paradigma Prinsip Administrasi Publik. Kajian dan praktek administrasi publik di berbagai negara terus berkembang. Berbagai perubahan terjadi seiring dengan berkembangnya berbagai persoalan yang dihadapi oleh administrator public sehingga ditanggapilah oleh para teoritisi dengan terus mengembangkan ilmu administrasi publik. Denhardt & Denhardt mengungkapkan bahwa terdapat tiga perspektif atau paradigma dalam administrasi publik. Perspektif tersebut adalah old public administration, new public management, dan new public service yang dapat dikelompokkan menjadi tiga orde/masa yaitu; 1. Old Publik Administration (Birokrasi ; Pra 1970), 2. New Publik Manajemen (pasca 1970), 3. New Public Service (Post 2003). Kemudian berkembang pula paradigma lainnya yaitu Good Governance dan sekarang juga hadir paradigm baru yang melengkapi kegagalan dari Good Governance yaitu Sound Governance.

1. 2.          Rumusan Masalah
      Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.       Bagaimana perspektif historis dari perkembangan paradigma Administrasi Negara mulai OPA, NPM, NPS, Good Governance dan Sound Governance?
b.      Bagaimana perdebatan dari masing-masing paradigma Administrasi Negara itu?
c.       Bagaimana perbandingan antara kultur barat dan kultur local dari masing-masing paradigma Administsrasi Negara tersebut?



1. 3.          Tujuan Penulisan
      Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka tujuan penulisan ini yaitu:
a.       Untuk mendeskripsikan tentang perspektif historis dari perkembangan paradigma Administrasi Negara dari OPA, NPM, NPS, Goodl Governance dan Sound Governance
b.      Untuk mendeskripsikan Perdebatan dari masing-masing paradigma Administrasi Negara itu.
c.       Untuk mendeskripsikan Perbandingan antara kultur barat dan kultur local dalam paradigma Administrasi Negara tersebut.

1. 4.          Manfaat Penulisan
       Adapun manfaat dari penulisan makalah ini antara lain.
  1. Bagi Penulis : untuk meningkatkan pengetahuan bagi penulis.
  2. Bagi Pembaca : untuk dijadikan bahan acuan atau referensi bagi pembaca.
  3. Untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Sistem Administrasi Administrasi negara.
























BAB II
PEMBAHASAN
Perkembangan suatu ilmu dapat ditelusuri melalui perubahan paradigmanya.  Menurut Thomas Kuhn dalam Pasalong  (2007: 27) mengungkapkan bahwa Paradigma merupakan cara pandang, nilai-nilai,. Metode-metode, prinsip dasar atau cara memecahkan masalah yang dianut suatu masyarakat ilmiah pada masa tertentu.
Dalam perkembangan ilmu administrasi public, dikenal juga berbagai paradigma yang menggambarkan adanya perubahan-perubahan dan perbedaan-perbedaan dalam tujuan, teori dan metodologi serta  nilai-nilai yang mendasari.

Beberapa perkembangan ilmu administrasi public, yaitu sebagai berikut:
A.    OLD PUBLIC ADMINISTRATION (1885-1980)
1.      PERSPEKTIF HISTORIS
Perkembangan Administrasi pulik model klasik dibedakan menjadi  4(empat) generasi yaitu: Pre Generation ( sampai sebelum 1885), First Generation (1885 – 1936), Second Generation ( 1937 – 1945), Third Generation ( setelah 1945). 

a.      Pre Generation (Sampai sebelum 1885)
            Dalam Administrasi Publik Pra Generasi  termasuk para pemikir seperti plato, aristoteles dan Machiavelli. Masa ini merujuk pada kondisi yang ada di daratan Eropa. Pada masa ini sampai dengan kelahiran konsep Negara Bangsa, penekanan Administrasi Publik didasarkan pada prinsip permasalahan moral dan kehidupan politik serta pada organisasi dari Administrasi Publik.
Abad I (Pencerahan), terdapat tiga tokoh yaitu plato, Aristoteles dan Machiavelli mnciptakan sebuah dasar pemikiran bahwa memiliki etika pelayanan publik dalam prinsip pelayanan pada Pengawasan kota, wilayah/agora, tempat ibadah (Plato) dan kemudian ditambah pengawasan daerah pedalaman/ pedesaan oleh Aristoteles. Abad XIV – XVII (Kegelapan), Pada abad ini ilmu tidak berkembang kareana adanya doktrin gereja. Abad XVIII – XIX (Pencerahan Kembali/Renaisance)



b.      First Generation (1885 – 1936)
Di daratan Eropa, Wina oleh Lorenz Van Stein (1855) yang dikenal sebagai Bapak pendiri Ilmu Administrasi. Perkembangan ilmu Administrasi di Eropa berorientasi pada legal approach. DiAmerika,  Oleh Thomas Woodrow Wilson ( 1856 – 1924) yang dikenal sebagai Bapak pengembang ilmu adminitrasi. Perkembangan Ilmu Administrasi diAmerika berorientasi pada management Approach. Wilson dalam Bukunya yang berjudul “ The Study Of Administration” mengemukakan 4 (empat) konsep yaitu:
  1. Dikotomi Politik –Administrasi.
  2. Prinsip-prinsip Administrasi
  3. Analisis pebandingan antara organisasi politik dan privat melalui skema politik
  4. Pencapaian manajemen yang efektif malaui pemberian pelatihan – pelatihan pada pegawai negeri dan dengan menilai kualitas mereka.

Tulisan Wilson yang berjudul “ The Study Of Administration” dikenal dengan tonggak perkembangan Keilmuan Administrasi.

c.       Second Generation ( 1937 – 1945)
   Pada generasi kedua diwarnai oleh dua tokoh yaitu Gulick dan Urwick yang merupakan pendiri Ilmu Administrasi dengan mengintegrasikan ide dari Henri Fayol kedalam teori komprehensif Administrasi. Mereka percaya bahwa pemikiran Fayol menawarkan perlakuan yang sistematis dalam manajemendan bisa diaplikasikan dengan baik pada manejemen perusahaan maupun untuk ilmu administrasi. Dua disiplin ilmu Gulick dan Quwick tidak perlu dipisahkan melainkan menjadi sebuah ilmu tunggal dari adminstrasi yang melewati batas-batas antara sektor privat dan sektor publik dimana dalam perkembangan selanjutnya Ilmu Administrasi lebih memfokuskan pada organisasi pemerintahan. Alasan- alasan yang menjadi dasar Ilmu Administrasi pada saat itu mayoritas berasal dari 14 prinsip dasar dari Fayol.

d.      Third Generation ( setelah 1945)
            Generasi ketiga dari Administrasi Publik model klasik muncul dengan mempertanyakan ide dari Wilson dan generasi kedua. Pada awalnya pembedaan politik dan administrasi sangat dipertimbangkan oleh generasi ketiga, namun demikian diskusi terus berlanjut.
Gerakan untuk melakukan perubahan lebih baik yang telah diprakarsai oleh Woodrow Wilson. Ia menyarankan agar administrasi publik harus dipisahkan dari dunia politik (dikotomi administrasi publik dengan politik). Berdasarkan pangalaman Wilson, Negara terllau memberikan peluang bagi para administrator untuk mempraktekkan sistem nepotisme dan spoil. Karena ia mengeluarkan dokrin untuk melakukan pemisahan antara dunia legislative (politik) dengan dunia eksekutif, dimana para legislator hanya merumuskan kebijakan dan para administrator hanya mengeksekusi atau mengimplementasikan kebijakan. Sosok birokrasi yang ditawarkan Wilson ini sejalan dengan jiwa atau semangat bisnis. Wilson menuntut agar para administrator publik selalu mengutamakan nilai efisiensi.
Perkembangan selanjutnya, sebagai akibat dari gagalnya intervensi Amerika di Vietnam dan juga skandal Watergate membuat politik mulai diragukan, dan baru ditahun 1980-an terdapat pertimbangan yang baik kembali terhadap birokrasi dimana Administrasi Publik harus memisahkan diri dari politik.

            Pre Generation, First Generation, Second Generation dan Third Generation disebut sebagai Old Public Administration.

2.      KONSEP OLD PUBLIC ADMINISTRATION
   Paradigma Old Public administration juga dapat dilihat melalui model “old chestnuts” dari Peters (1996 dan 2001), dimana Administrasi Publik berdasarkan pada Pegawai Negeri yang politis dan terinstitusionalisasi; organisasi yang hierarkhis dan berdasarkan peraturan; penugasan yang permanen dan stabil; banyaknya pengaturan internal; serta menghasilkan keluaran yang seragam.





3.      PERBANDINGAN KULTUR LOKAL DAN KULTUR BARAT DALAM PARADIGMA OPA
Indonesia merupakan Negara adalah demokrasi. Dalam prakteknya, selama 32 tahun dari pemerintahan orde baru hingga sekarang, demokrasi Indonesia itu sangat berlawanan dengan birokrasi yang dijalankan di Indonesia.
Tiga puluh dua tahun adalah masa yang tidak sedikit untuk dapat membentuk karakter masyarakat sebuah bangsa. Dampak pemerintahan yang telah berjalan pada masa itu masih meninggalkan jejak-jejaknya dan terikat kuat oleh para birokrat kita hingga pada era demokrasi ini. Contoh nyata yang masih dapat kita rasakan adalah red-tape birokrasi, yaitu birokrasi yang berbelit-belit, KKN, lamban, tidak sensitif terhadap kebutuhan rakyat, tidak efisien, prosedur yang panjang dan rumit, sikap enggan melayani, tertutup, dan lain sebagainya. Hal itu terjadi ketika birokrasi di Negara ini memiliki keberpihakan pada salah satu partai politik (Golkar). Pada masa ini, Indonesia menerapkan Old Public Administration. Terlihat dari pelaksanaan pemerintahan yang sentralistik dan kaku,  fokus pemerintahan pada pengiriman langsung dari pelayanan melalui lembaga resmi resmi pemerintahokuskan pada tujuan tunggal, pelayanan publik terbaik diberikan melalui organisasi hierarkis, dengan para manajer terutama berolahraga dari puncak organisasi, nilai-nilai utama dari organisasi publik adalah efisiensi dan rasionalitas, organisasi publik beroperasi sistem sebagai tertutup, keterlibatan warga negara terbatas.
Red tape birokrasi ini jelas sangat bertentangan dengan sistem pemerintahan Indonesia yang konon katanya adalah demokrasi. Apakah demokrasi disini hanya digunakan pada sistem pemilihan umum?? Namun kemudian dalam menjalankan tugasnya mereka masih menganut gaya pemerintahan zaman orde baru??
Red Tape yaitu penyakit birokrasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan yang berbelit-belit, memakan waktu lama, meski sebenarnya bisa diselesaikan secara singkat. Salah satu contoh red tape misalnya pengurusan surat  penelitian penghasilan yang harus berurusan dengan walinagari setempat. Padahal hanya untuk meminta tanda tangan Pak Walinagari dan stempel kenagarian membutuhkan waktu yang cukup lama dan berbelit-belit dalam pengurusannya oleh  birokrat kita.
Selain itu tentang korupsi. Korupsi juga masih terjadi pada saat sekarang ini, malah semakin merajalela. Hal ini telah menjadi rahasia umum yaitu para birokrat sering terlibat di dalamnya dan menjadi pelaku, baik yang sudah diketahui maupun yang belum terungkap kasusnya. Jika moralitas tak kunjung membaik, maka tujuan penyelengaraan pemerintahan pun tak kunjung tercapai.
Ketika dahulu semua lapisan  masyarakat sangat berusaha untuk merubah sistem  pemerintahan yang sentralistik dan otoriter. Masyarakat sangat menginginkan demokrasi yang baik, dimana salah satu penerapan yang telah dilaksanakan adalah otonomi daerah merupakan wujud dari pemerintahan yang demokrasi. Kewenagan yang dulu dipegang oleh pemerintah pusat, kini dilimpahkan kepada pemerintahan daerah yang dianggap sebagai pemerintah yang paling dekat aksesnya dengan rakyat dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun ketika otonomi ini sudah dijalankan, kemudian banyak pula terjadi penyimpangan oleh pemerintah daerah itu sendiri. Seolah jika dahulu hanya pusat saja yang bisa korupsi, tapi sekarang pejabat di tingkat daerah juga bisa ambil bagian (korupsi).
Pokok masalah yang masih mengakar adalah karakter pemerintahan sentralistik para birokrat yang menjalankan roda pemerintahan, atau disebut Old Public Administration (OPA). Jika pola pikir yang terbentuk masih dalam paradigma tersebut, maka sampai kapan pun sistem yang ada tak akan memberi kemajuan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Begitu juga halnya dengan di struktur Barat, OPA masih kental pengaruhnya terhadap barat. OPA yang cenderung sentralistik, otokratis dan kaku cenderung berdampak pada  Misalnya KKN, red-tape birokrasi, yaitu birokrasi yang berbelit-belit, KKN, lamban, tidak sensitif terhadap kebutuhan rakyat, tidak efisien, prosedur yang panjang dan rumit, sikap enggan melayani, tertutup, dan lain sebagainya.

4.      KRITIK (PERDEBATAN) TENTANG OPA
Paradigma OPA dikritik oleh paradigma NPM. Secara konseptual OPA berbeda dengan NPM. NPM mengacu kepada sekelompok ide dan praktik kontemporer untuk menggunakan pendekatan-pendekatan dalam sektor privat (bisnis) pada organisasi sektor publik. NPM adalah suatu gerakan yang mencoba menginjeksikan prinsip-prinsip organisasi sektor privat ke dalam organisasi pemerintah. Pemerintahan yang kaku dan sentralistik sebagaimana yang dianut oleh OPA harus diganti dengan pemerintahan yang berjiwa wirausaha dan profitable.
Kritik terhadap The Old Public Administration
ü  Administrasi Publik bersifat tertutup dan keterlibatan masyarakat yang sangat rendah.
ü  Efisiensi sebagai ukuran kerja dan bukannya responsiveness
ü  Model Administrasi bersifat top down dan hierarkis
ü  Bureaucratic Rational Choice sebagai dasar dalam pengambilan keputusan
ü  Bureaucratic Action yang menimbulkan red tape

B.     NEW PUBLIC MANAGEMENT (1980-1990)
1.      PERSPEKTIF HISTORIS NPM
Paradigma Paradigma Reinventing Government juga dikenal sebagai New Public Management (NPM). Paradigma NPM melihat bahwa paradigma manajemen terdahulu kurang efektif dalam memecahkan masah dalam memberikan pelayanan kepada public. Setelah perkembangan Ilmu Administrasi  pada tahun 1980-an kemudian berkembang lagi menjadi  New Public Management khususnya di New Zealand,Australia, Inggris dan Amerika sebagai akibat dari munculnya krisis kesejahteraan negara. Paradigma ini kemudian menyebar secara luas khususnya ditahun 1990-an disebabkan adanya promosi dari lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF, Sekretariat Negara Persemakmuran dan kelompok- kelompok konsultan manajemen.
Paradigma NPM ini muncul disebabkan sejumlah kekuatan baik dinegara maju maupun dinegara berkembang . Di negara maju memiliki perkembangan dibidang ekonomi, social, politik dan lingkungan administrative secara bersama – sama mendorong terjadinya perubhan radikal dalam sistem manajemen dan Administrasi Publik. Sasaran utama dari perubahan yang diinginkan adalah peningkatan cara pengelolaan pemerintah dan penyampaian pelayanan pada masyarakat dengan penekanan pada efisiensi, ekonomi dan efektivitas. Kemunculan NPM dinegara berkembang hampir sama dengan negara maju yang dilatar belakangi oleh faktor- faktor krisis ekonomi dan keuangan, penyesuaian struktur dan kondisional konteks manajemen dan administrasi Publik, serta konteks politik bagi adanya reformasi.

2.      KONSEP NPM

            Dalam NPM menyediakan banyak pilihan untuk mencapai biaya yang efektif dalm penyampaian barang public seperti adanya organisasi yang terpisah untuk kebijakan dan implementasi, kontrak kerja , pasar internal, sub-kontrak dan metode lainnya. NPM memiliki focus yang kuat terhadap organisasi internalnya diman berusaha memperbaiki kinerja organisasi sektor public dengan metode yang digunakan oleh sektor privat.
Karena itu Vigoda dalam Keban  (2008: 36), menyatakan bahwa ada tujuh prinsip-prinsip NPM, yaitu sebagai berikut :
a.       Pemanfaatan manajemen professional dalam sector publik.
b.      Penggunaan indicator kinerja.
c.       Pergeseran perhatian ke unit-unit yang lebih kecil.
d.      Pergeseran kompetisi yang lebih tinggi.
e.       Penekanan gaya sector swasta pada penerapan manajemen.
f.       Penekanan pada disiplin dan penghematan yang lebih tinggi dalam penggunaan sumber daya.
NPM secara umum dipandang sebagai suatu pendekatan dalam administrasi publik yang menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dalam dunia manajemen bisnis dan disiplin lain untuk mendapatkan efisiensi, efektivitas, kinerja pelayanan publik pada birokrasi modern.

ORIENTASI NPM
NPM ini telah mengalami berbagai perubahan orientasi menurut Ferlie, Ashbuerner, Flizgerald dan Pettgrew dalam Keban (2008: 36), yaitu:
a.       Orientasi The Drive yaitu mengutamakan nilai efisiensi dalam mengutamakan nilai efisiensi dalam pengukuran kinerja.
b.      Orientasi Downsizing and Dezentralization yaitu mengutamakan penyedehanaan struktur, memperkaya fungsi dan mendelegasikan otoritas kapada unit-unit yang lebih kecil agar dapat berfungsi secara cepat dan tepat.
c.       Orientasi In search of Excellence yaitu mengutamakan kinerja optimal dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
d.      Orientasi public Service yaitu lebih menekankan pada kualitas, misi, dan nilai-nilai yang hendak dicapai organisasi publik, memberikan perhatian yang lebih besar kepada aspirasi, kebutuhan dan partisipasi “user” dan warga masyarakat, memberikan otoritas yang lebih tinggi kepada pejabat yang dipilih masyarakat, termasuk wakil-wakil mereka, menekankan social learning dalam memberikan pelayanan publik  dan penekanan pada evaluasi kinerja secara berkesinambunga, partisipasi masyarakat dan akuntabilitas.

3.      PERBANDINGAN KULTUR LOKAL DAN KULTUR BARAT DALAM PARADIGMA NPM
Di dalam sistem pemerintahan dikenal istilah New Public Management (NPM), yang konsepnya terkait dengan manajemen kinerja sektor publik, yang mana pengukuran kinerja merupakan salah satu dari prinsip-prinsipnya. New Public Management pada awalnya lahir di negara-negara maju di Eropa dan Amerika. Di Inggris, meningkatnya tekanan atas pemerintah seputar masalah ekonomi seperti pengangguran dan inflasi memaksa PM Margaret Thatcher meresponnya dengan mereformasi sektor pemerintahan. NPM menjadi popular di awal 1990-an tatkala diadopsi oleh administrasi Clinton di Amerika Serikat.
            Namun, negara-negara berkembang juga sudah mulai menggunakan konsep ini, begitu juga dengan Indonesia yang berusaha menerapkan paradigma NPM tersebut, meski ada sikap pesimis dari berbagai pihak mengenai kesanggupan penerapannya. Salah satu yang menonjol adalah adanya reformasi birokrasi di Departemen Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam reformasinya, kedua instansi ini berfokus pada pilar-pilar yang menjadi pokok perubahan birokrasi, yaitu: kelembagaan/organisasi, proses bisnis, sumber daya manusia, serta prasarana dan sarana. Tidak salah lagi, bahwa upaya ini dilakukan untuk memperbaiki standar pelayanan umum yang diberikan kepada publik.
            Dalam reformasi birokrasinya, sebagai penerapan dari NPM, baik Departemen Keuangan maupun Badan Pemeriksa Keuangan menggunakan konsep Balanced Score Card, yaitu dengan membentuk strategy map dan key performance indicators (KPI) sebagai standar dan alat pengukuran kinerja. Bisa dikatakan bahwa dalam konsepnya kedua instansi ini sukses, hanya saja dalam pelaksanaannya dirasa masih setengah hati, terlihat dari belum sinkronnya antara program dengan strategi yang dibentuk, juga antara program dengan KPI, terlebih pada anggarannya pada format DIPA. Hal ini saling berkaitan, karena money follow functions. Ketika strategi, program beserta KPI nya terbentuk secara rapi, maka tentunya anggaran akan mengikuti mekanisme tersebut.
NPM yang memang sukses diterapkan di Amerika Serikat, Kanada, Inggris dan Seladia baru dan beberapa negara maju lainnya. Tetapi bagaimana bagaimana penerapannya di negara berkembang?? Kenyataannya, banyak negara berkembang termasuk Indonesia dan negara miskin, seperti di negara-negara Afrika yang gagal menerapkan konsep NPM karena tidak sesuai dengan landasan ideology, politik, ekonomi, dan social budaya negara yang bersangkutan. Akhirnya negara tersebut tetap miskin dan tidak menunjukkan adanya tanda-tanda  kemajuan.
Terlepas dari apa yang terjadi pada kedua instansi pemerintahan tersebut, dalam ranah yang lebih luas, NPM ini telah dicoba diterapkan juga pada Pemerintahan Daerah, yaitu sejalan dengan penerapan otonomi daerah di Indonesia mulai tahun 2004. Bisa dikatakan, bahwa penerapan NPM ini memberikan dampak positif pada beberapa hal, misalnya peningkatan efisiensi dan produktivitas kinerja pemerintahan daerah, yang pada akhirnya mampu meningkatkan kualitas pelayanan publik. Hal ini dapat dipahami melalui salah satu karakteristik NPM menurut Christopher Hoods, yaitu menciptakan persaingan di sektor publik. Sehingga apa yang dilakukan oleh pemerintahan daerah adalah berusaha bersaing untuk memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, dan pada gilirannya, publiklah yang diuntungkan atas upaya ini.

4.      KRITIK/ PERDEBATAN TERHADAP NPM
Perspektif new public management memperoleh kritik keras dari banyak pakar seperti Wamsley & Wolf (1996), Box (1998), King & Stivers (1998), Bovaird & Loffler (2003), dan Denhardt & Denhardt (2003). Mereka memandang bahwa perspektif ini, seperti halnya perspektif old public administration, tidak hanya membawa teknik administrasi baru namun juga seperangkat nilai tertentu. Masalahnya terletak pada nilai-nilai yang dikedepankan tersebut seperti efisiensi, rasionalitas, produktivitas dan bisnis karena dapat bertentangan dengan nilai-nilai kepentingan publik dan demokrasi.
Jika pemerintahan dijalankan seperti halnya bisnis dan pemerintah berperan mengarahkan tujuan pelayanan publik maka pertanyaannya adalah siapakah sebenarnya pemilik dari kepentingan publik dan pelayanan publik? Atas dasar pemikiran tersebut Denhardt & Denhardt memberikan kritik terhadap perspektif new public management sebagaimana yang tertuang dalam kalimat “in our rush to steer, perhaps we are forgetting who owns the boat.”.

Menurut Denhardt & Denhardt, karena pemilik kepentingan publik yang sebenarnya adalah masyarakat maka administrator publik seharusnya memusatkan perhatiannya pada tanggung jawab melayani dan memberdayakan warga negara melalui pengelolaan organisasi publik dan implementasi kebijakan publik. Perubahan orientasi tentang posisi warga negara, nilai yang dikedepankan, dan peran pemerintah ini memunculkan perspektif baru administrasi publik yang disebut sebagai new public service.
Warga negara seharusnya ditempatkan di depan, dan penekanan tidak seharusnya membedakan antara mengarahkan dan mengayuh tetapi lebih pada bagaiamana membangun institusi publik yang didasarkan pada integritas dan responsivitas. Pada intinya, perspektif baru ini merupakan “a set of idea about the role of public administration in the governance system that place public service, democratic governance, and civic engagement at the center.”


C.    NEW PUBLIC SERVICES (1990- sekarang)
1.      PERSPEKTIF HISTORIS
New Public Service merupakan perkembangan lebih lanjut dari New Public Manajemen pada 1990-an yaitu setelah Administrasi publik yang menggunakan konsep pemerintahan yang efisien dengan banyak pilihan untuk mencapainya kemudian Administrasi berkembang menjadi lebih inovatif .
Secara praktek, gerakan manajerialis memperoleh pengaruh besar dalam reformasi administrasi publik di berbagai negara maju, seperti Selandia Baru, Australia, Inggris, dan Amerika Serikat. Di Inggris, reformasi administrasi publik dijalankan sejak masa PM Margaret Thatcher. Dukungan intelektual dalam gerakan ini di Inggris tampak dari karya Emmanual Savas dengan “Privatization”nya, Normann Flynn dengan “Public Sector Management”nya. Di Amerika Serikat, gerakan ini memperoleh popularitas besar berkat karya terkenal David Osborne dan Ted Gaebler, Reinventing Government. Gerakan ini menyebar ke seluruh dunia sehingga menjadi inspirasi utama di banyak negara dalam mereformasi administrasi publik baik dengan melakukan privatisasi gaya Inggris atau dengan gerakan mewirausahakan birokrasi gaya Amerika Serikat.
Pada tahun 2003, atau lebih kurang sepuluh tahun kemudian muncul lagi paradigma baru dalam administrasi publik yaitu New Public Service oleh J.V Denhardt & R.B. Denhardt (2003). Keduanya menyarankan untuk meninggalkan prinsip administrasi klasik atau Old Public Administration dan Reinventing Government atau New Public Manajement, dan beralih ke Prinsip New Public Service. Menurut Denhart dalam Pasalong (2007:35), berjudul “The New Public Service : Seving, not Stering”. Pada halaman pendahuluan menyatakan NPS lebih diarahkan pada democracy, pride and citizen dari pada market, competition and customers seperti sector privat. Beliau menyatakan “public servants do not deliver customers service, they deliver democracy”. Oleh sebab itu nilai-nilai demokrasi, kewarganegaraan dan pelayanan untuk kepentingan publik sebagai normamendasar lapangan administasri publik.

2.      KONSEP NEW PUBLIC SERVICES
Menurut Denhardt dan Denhardt, karena pemilik kepentingan publik yang sebenarnya adalah masyarakat maka administrator publik seharusnya memusatkan perhatiannya pada tanggung jawab melayani dan memberdayakan warga negara melalui pengelolaan organisasi publik dan implementasi kebijakan publik. Perubahan orientasi tentang posisi warga negara, nilai yang dikedepankan, dan peran pemerintah ini memunculkan perspektif baru administrasi publik yang disebut sebagai New Public Service.
Perspektif new public service mengawali pandangannya dari pengakuan atas warga negara dan posisinya yang sangat penting bagi kepemerintahan demokratis. Jati diri warga negara tidak hanya dipandang sebagai semata persoalan kepentingan pribadi (self interest) namun juga melibatkan nilai, kepercayaan, dan kepedulian terhadap orang lain. Warga negara diposisikan sebagai pemilik pemerintahan (owners of government) dan mampu bertindak secara bersama-sama mencapai sesuatu yang lebih baik. Kepentingan public tidak lagi dipandang sebagai agregasi kepentingan pribadi melainkan sebagai hasil dialog dan keterlibatan publik dalam mencari nilai bersama dan kepentingan bersama. Perspektif new public service menghendaki peran administrator publik untuk melibatkan masyarakat dalam pemerintahan dan bertugas untuk melayani masyarakat.

Perspektif new public service memberikan dalam administrasi publik. Perubahan ini pada dasarnya menyangkut perubahan dalam cara memandang masyarakat dalam proses pemerintahan, perubahan dalam memandang apa yang dimaksud dengan kepentingan masyarakat, perubahan dalam cara bagaimana kepentingan tersebut diselenggarakan, dan perubahan dalam bagaimana administrator publik menjalankan tugas memenuhi kepentingan publik. Perspektif ini mengedepankan posisi masyarakat sebagai warga negara dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan. Perspektif ini membawa upaya demokratisasi administrasi publik. Pelayanan kepada masyarakat merupakan tugas utama bagi administrator publik sekaligus sebagai fasilitator bagi perumusan kepentingan publik dan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan.

Denhardt (2003), The Public Services memuat ide pokok sebagai berikut;
1)      Serve Citizen, Not Customers : Kepentingan publik adalah hasil dari sebuah dialog tentang pembagian  nilai dari pada kumpulan dari kepentingan individu. Oleh karena itu aparatur dari pelayanan publik tidak hanya merespon keinginan pelanggan, tetapi lebih focus kepada pembangunan kepercayaan dan koloborasi dengan ddan antara warga Negara (citizen).
2)      Seek the Public Interest: Administrasi Publik harus memberikan kontribusi untuk membangun kebersamaan, membagi wawasan dari kepentingan publik, tujuannya adalah tidak hanya untuk menemukan pemecahan yang cepat yang dikendalikan oleh pilihan-pilihan individu. Tetapi lebih dari itu, tujuannya adalah kreasi dari pembagian kepentingan dan tangguung jawab.
3)      Value Citizenship over entrepeurship : Kepentingan publik adalah dimajukan oleh komitmen aparatur pelayanan publik dan warga Negara untuk membuat kontribusi lebih berarti dari pada oleh gerakan pada manajer swasta sebagai bagian dari keuntungan publik yang menjadi milk Negara.
4)      Think Strategically, Act Democracally : Pertemuan antara kebijakan dan program agar bisa dicapai secara lebih efektif dan berhasil secara bertanggung jawab mengikuti upaya bersama dan proses-proses  kebersamaan.
5)      Recognized that Accountability Is Not Simple: Aparatur pelayanan publik seharusnya penuh perhatian lebih baik dari pada pasar. Mereka juga harus mengikuti peraturan perundangan dan konstitusi, nilai-nilai masyarakat, norma politik, standar professional dan kepentingan warga Negara.
6)      Serve Rather than Steer : Semakin bertambah penting bagi pelayanan publik untuk menggunakan andil, nilai kepemimpinan mendasar dan membantu warga mengartikulasikan dan mempertemukan kepentingan yang menjadi bagian mereka lebih dari pada berusaha untuk mengontrol aau mengendalikan masyarakat pada petunjuk baru.
7)      Value People, Not Just Productivity ; Organisasi publik dan kerangka kerjanya dimana mereka berpartispasi dan lebih sukses dalam kegiatannya kalau mereka mengoperasikan sesuai proses kebersamaan dan mendasarkan diri pada kepemimpinan yang hormat pada semua orang.

3.      PERBANDINGAN KULTUR LOKAL DAN KULTUR BARAT DALAM PARADIGMA NPS
Dalam NPS ini memfokuskan pada peran pemerintah pada aspek pelayanan public. Padahal urusan pemerintah tidak hanya berkaitan dengan pelayanan public tetapi juga bersangkutan dalam pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan msyarakat.  Di negara –negara maju atau berkembang seperti amerika, inggris dan Selandia baru yang tidak lagi berkutat pada upaya percepatan pembangunan dan peningkatan pertumbuhan karena negara-negar tersebut sudah relative stabil maka pelanan public menjadi program prioritas yang strategis. Namun negara-negara berkembang seperti diIndonesia  pelayanan public mengejar pertumbuhan dan meningkatkan pembangunan.
Bentuk penerapan NPS lainnya di Indonesia yaitu Citizen Charter (Kontrak pelayanan). Citizen Charter ini telah diterapkan di Provinsi Yogyakarta tahun 2003.  Citizen Charter ini harus melibatkan masyarakat, LSM, DPRD, Pers, Tokoh masyarakat, dalam merumuskan pelayanan yang baik untuk masyarakat. Studi kasusnya seperti yang telah diterapkan di Provinsi Yogyakarta ini yaitu KTP. Dengan adanya citizen charter ini, masyaakat dapat memperoleh pelayanan yang baik dalam pembuatan dan pengurusan KTP dalam bentuk biaya administrasi yang gratis dan proses pembuatannya minimal 3 hari. Apabila pihak pemberi layanan dalam pengurusan KTP ini melanggar kontrak pelayanan yang telah ditetapkan bersama, maka  sesuai kesepakatan pihak pihak pemberi layanan akan dikenakan sanksi oleh pihak yang terlibat dalam kesepakatan Citizen Charter.

4.      PERDEBATAN / KRITIK DALAM NEW PUBLIC SERVICES
         NPS adalah cara pandang baru dalam administrasi Negara yang mencoba menutupi kelemahan dari paradigma OPA dan NPM. Ada beberapa kelemahan dari NPS itu yaitu:
a.       Pendekatan politik dalam administrasi Negara
            Secara epistemologis bahwa NPS itu berakar dari filsafat politik tentang demokrasi. Denhart dan Denhart menspsesifikasikan menjadi demokrasi kewargaaan yang berorientasi pada kepentingan warga Negara secara keseluruhan. Warga Negara memilki hak penuh memperoleh perhatian dari pemerintah dan warga Negara berhak melibatkan dalam setiap proses pemerintahan (politik dan pengambilan kebijakan).
             Denhart dan Denhart berhasil mencari akar mengapa pemerintah harus melayani bukan mengarahkan, mengapa pemerintah memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai warga Negara bukan sebagai pelanggan, tetapi mereka lupa bahwa pemikiran politik telah masuk dalam upaya pencarian administrasi Negara  - pelayanan public. Lebih jauh, Denhart dan Denhart telah mundur beberapa langkah dalam paradigma tiga Administrasi Negara yaitu Administrasi Negara sebagai ilmu politik. Padahal dengan NPS sebagai antitesa dari NPM berarti mereka menyakini bahwa administrasi Negara telaha melewati paradigma 5. Sebenarnya Denhart dan Denhart tidak salah mencari akar paradigma NPS dimana Administrasi Negara dipengaruhi oleh ilmu politik tetapi merewindnya harus diwaspadai. Seharusnya Denhart dan Denhart dapat menkonstantakannya dengan NPM. Misalnya, Denhart dan Denhart dapat meykinkan orang lain untuk bertanggung jawab melayani masyarakat sebagai warga negara  karena pada awalnya warga negaralah yang mendirikan negara dan kemudian menjalankannya serta terikat dengan aturan-aturan negara. 

b.      Standar ganda dalam mengkritik NPM
       NPS berusaha untuk mengkritik NPM, tetapi tidak tegas karena kritikan terhadap NPS  hanyalah kritikan filosofis- Ideologis bukan kritik terhadap pelaksaan NPM yang gagal di banyak negara. NPM memang sukses diterapkan di Amerika Serikat, Kanada, Inggris dan Seladia baru dan beberapa negara maju lainnya. Ttapi bagaimana bagaimana penerapannya di negara berkembang?? Kenyataannya, banyak negara berkembang termasuk Indonesia dan negara miskin, seperti di negara-negara Afrika yang gagal menerapkan konsep NPM karena tidak sesuai dengan landasan ideology, politik, ekonomi, dan social budaya negara yang bersangkutan. Akhirnya negara tersebut tetap miskin dan tidak menunjukkan adanya tanda-tanda  kemajuan.
       Denhart dan Denhart mengkritik NPS sebagai konsep yang salah dalam memandang masyrakat yang dilayani. NPM memandang nasyarakat yang dilayani sebagai customer sedangkan NPS menganggap masyarakat yang dilayani sebagai warga negara. Namun Denhart dan Denhart lupa mencari akar ideologis, mengapa NPM memiliki perspektif demikian dalam memandang subjek pelayanan? Mengapa NPM menawarkan jurus privatisasi, liberalisasi, deregulasi, untuk mendongkrak kinerja pemerintah?? Tidak bisa dipungkiri NPM adalah anak ideologis neoliberalisme yang mencoba menerapkan mekanisme pasar dan berupaya secara sistematis mereduksi peran pemerintah sehingga pemerintah menurut konsep berada dibelakang kemudi kapal sedangkan kaplanya dijalankan oleh oragan-organ di dalam pemerintah.
       Dalam konsep NPS yang diajukan oleh Denhart dan Denhart bahwa nilai-nilai neoliberalisme NPM tidak hilang secara otomatis. Ketika pemerintah melayani masyarakat sebagai warga negara misalnya aspek privatisasi bisa saja tetap berlangsung asalkan atas nama melayani kepnetingan warga negara bukan pelanggan. Misalnya, sekotor pendidikan dapat diprivatisasikan asalakn pendidikan tetap melayani masyarakat sebagai warga negara bukan pelanggan.
 
c.       Aplikasi NPS masih diragukan     
       Prinsip NPS belum tentu bisa di aplikasikan pada semua tempat, situasi dan kondisi. Administrasi negara sangat dipengaruhi oleh factor lingkunga (Ideologi, politik, hukum, ekonomi, militer dan social bidaya) sehingga suatu paradigma yang sukses di suatu tempat belum tentu berhasil diterapkan pada temapt lain. Prinsip-prinsip NPS terlalu abstrak dan perlu dikonkritkan lagi. Prinsip dasar NPS barangkali bisa diterima semua pihak namun bagaimana prinsip itu bisa diimplementasikan sangat bergantung pada aspek lingkungan.
       Lagi pula NPS terlalu memfokuskan pada peran pemerintah pada aspek pelayanan public. Padahal urusan pemerintah tidak hanya berkaitan dengan pelayanan public tetapi juga bersangkutan dalam pembangunan dan meningkatkan kesejahetraan msyarakat Di negara –negara maju atau berkembang seperti amerika, inggris dan Selandia baru yang tidak lagi berkutat pada upaya percepatan pembangunan dan peningkatan pertumbuhan karena negara-negar tersebut sudah relative stabil maka pelanan public menjadi program prioritas yang strategis. Namun negara-negara berkembang pelayanan public mengejar pertumbuhan dan meningkatkan pembangunan.
       NPS merupakan paradigma yang berakar dari teori kewargaan, model komunitas, dan masyarakat sipil. NPS memiliki perbedaan karakteristik OPA dan NPM. NPS berusaha menutupi kekurangan-kekurangan pada paradigma OPA dan NPM dengan menawarkan sejumlah opsi. Inti dari paradigma NPS adalah meredeposisi peran negara dan pemerintah dalam memberikan pelayanan public yang baik.  Nalar politik sangat kental dalam mencari akar NPS. Namun NPS sendiri alpa dalam mengkaji landasan fisiologis-ideologis sehingga NPM berbeda dengan NPM.  

D.    GOOD GOVERNANCE
1.      PERSPEKTIF HISTORIS GOOD GOVERNANCE
Pada tahun 1990-an , dampak penekanan yang tidak pada tempatnya terhadap efisiensi dan ekonomis dalam pengelolaan dalam masalah –masalah public mulai menyebabkan menurunnya penyampaian pelayanan public kepada masyarakat khususnya menyangkut barang-barang yang bersifat public (public goods).
            Konsep good governance bermula dari konsep governance oleh Stoker. Menurut Stoker (1998), konsep governance merujuk kepada pengembangan dari gaya memerintah dimana batas-batas antara dan diantara sector public dan sector privat menjadi kabur (Ewalt,2001). Pengaburan batas-batas ini sejalan dengan kebutuhan dari Negara modern untuk lebih melibatkan mekanisme politik dan pengakuan akan pentingnya isu-isu menyangkut empati dan perasaan dari public untuk terlibat sehingga memberikan kesempatan bagi adanya mobilisasi baik secara social maupun politik (Stoker, 2004). Hal ini yang kemudian membuat partisipasi melalui pembangunan jejaring antara pemerintah dan masyarakat menjadi aspek yang sangat penting bagi keberlanjutan sebuah legitimasi kebijakan (Stoker,2004).
            Konsep governance ini kemudian berkembang menjadi good governance- seperti yang kita kenal sekarang- dalam rangka membedakan implementasinya anatara yang “baik” (good) dengan yang “buruk” (bad). Good governance menurut Plumptre and Graham (1999) merupakan model daeri governance yang mengarahkan kepada hasil ekonomi dan social sebagaimana dicari oleh masyarakat
            Dalam konsep Governance, peran pemerintah, sektor privat dan masyarakat sama penting diman pemerintah berperan untuk menciptakan situasi politi dan hukum yang kondusif, sektor privat  berperan dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan, kemudian masyarakat berperan dalam memfasilitasi interaksi secara social dan politik bagi mobilitas individu atau kelompok- kelompok masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, social dan politik.
           
2.      KONSEP GOOD GOVERNANCE
Pengertian dari good governance dapat dilihat dari pemahaman yang dimiliki baik oleh IMF maupun World Bank yang melihat Good Governance sebagai sebuah cara untuk memperkuat “kerangka kerja institusional dari pemerintah” (Bappenas,2002). Hal ini menurut mereka berarti bagaimana memperkuat aturan hukum dan prediktibilitas serta imparsialitas dari penegakannya (Bappenas,2002). Ini juga berarti mencabut akar dari korupsi dan aktivitas-aktivitas rent seeking, yang dapat dilakukan melalui transparansi dan aliran informasi serta menjamin bahwa informasi mengenai kebijakan dan kinerja dari institusi pemerintah dikumpulkan dan diberikan kepada masyarakat secara memadai sehingga masyarakat dapat memonitor dan mengawasi manajemen dari dana yang berasal dari masyarakat (Bappenas, 2002). Pengertian ini sejalan dengan pendapat Bovaird and Loffler (2003) yang mengatakan bahwa good governance mengusung sejumlah isu seperti : keterlibatan stakeholder; transparansi; agenda kesetaraan (gender; etnik; usia; agama; dan lainnya); etika dan perilaku jujur; akuntabilitas; serta keberlanjutan.

Berdasarkan pengertian di atas, good governance memiliki sejumlah cirri sebagai berikut (Bappenas, 2002) :
ü  Akuntabel, artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus disertai pertanggung jawabannya.
ü   Transparan, artinya harus tersedia informasi yang memadai kepada masyarakat terhadap proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan.
ü  Responsif, artinya dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus mampu melayani semua stakeholder.
ü  Setara dan inklusif, artinya seluruh anggota masyarakat tanpa terkecuali harus memperoleh kesempatan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan sebuah kebijakan.
ü   Efektif dan efisien, artinya kebijakan dibuat dan dilaksanakan dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang tersedia dengan cara yang terbaik.
ü  Mengikuti aturan hokum, artinya dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan membutuhkan kerangka hokum yang adil dan ditegakkan.
ü  Partisipatif, artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus membuka ruang bagi keterlibatan banyak actor.
ü  Berorientasi pada consensus (kesepakatan, artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus merupakan hasil kesepakatan bersama diantara para actor yang terlibat.

3.      PERBANDINGAN DAN KRITIKAN KULTUR LOKAL DAN KULTUR BARAT DALAM PARADIGMA GOOD GOVERNANCE 
Dalam penerapannya Good Governance tidak cocok diterapkan di Indonesia, karena beberapa hal, yaitu:
a.       Ide yang menonjol dari Good Governane adalah justru demokrasi liberal dan kapitalisme sebagaimana yang diterapkan dalam kultur barat sedangkan di Indonesia itu sendiri menganut Demokrasi pancasila. Hal itu terdapat perbandingan yang signifikan dari Ideologi yang dianut antara kultur barat dan kultur local di Indonesia.
b.      Adanya perilaku predator (pencurian sumber daya lewat kontrak)
     Pemerintah harus bekerja sama dengan privat (swasta). Kontrak dengan privat ini terlihat dalam kegiatan menghibahkan saham dari pihak swasta untuk memperbaiki Negara Indonesia. Sewaktu privat menanamkan sahamnya, secara tidak langsung pihak privat mencuri sumber daya.
c.       Distribusi otonomi kekuasaan state, privat dan society tidak memecahkan permasalahan Negara karena kesejahteraan rakyat tidak bisa dijamin lewat pendistribusian kekuasaan Negara pada mekanisme pasar. Institusi akan lemah karena penyurutan atutan dan kekuatan. Misalnya, PLN yang telah di privatisasikan. Dalam hal ini, privatisasi PLN ini bertujuan agar listrik dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia, namun pada kenyataannya setelah diprivatisasikan, PLN malah menaikkan biaya listrik sehingga beberapa massyarakat kalangan bawah di Indonesia tidak dapat menikmati listrik.

E.     SOUND GOVERNANCE
1.      PERSPEKTIF HISTORIS
Setelah Good Governance berhasil mengurangi kesenjangan di tingkat domestik, Ada beberapa pertanyaan-pertanyaan mendasar  yang perlu diperhatikan yaitu:
  1. Lantas bagaimana dengan kesenjangan internasional?
  2. Bila Good Governance telah berhasil mengadilkan distribusi kekuasaan dan dana di tingkat lokal, apakah hal yang sama juga telah terjadi di tingkatan global?
  3. Bila orang miskin di negara berkembang telah memiliki media untuk bernegosiasi dengan orang kaya, apakah negara-negara miskin telah memiliki media yang sama?
  4. Berbagai prinsip ideal Good Governance, apakah juga sudah diimplementasikan dalam tataran internasional?

Pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebutlah yang mengilhami Ali Farazmand (2004) dalam menggagas konsep Sound Governance yang sekaligus membuka arah baru bagi pembangunan global ke depan. Setelah Good Governance berhasil menginklusifkan hubungan si kaya dan si miskin di tingkat nasional, maka fase berikutnya adalah menginklusifkan hubungan negara kaya dengan negara miskin melalui agenda Sound Governance.
Sound Governance hadir untuk melengkapi kegagalan konsep Good Governance  yang sudah berlaku selama ini. Sound Governance melihat bahwa upaya merestrukturisasi pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat secara domestik dengan mengabaikan peran aktor internasional adalah pengingkaran atas realitas global. Dampak dari pengingkaran ini adalah banyaknya variabel, yang sebenarnya sangat penting, tidak masuk ke dalam hitungan. Variabel yang absen itu adalah kearifan lokal (akibat hegemoni terma ‘Good’ oleh Barat) dan dampak dari kekuatan kooptatif internasional. Ruang kosong inilah yang coba diisi oleh sebuah paradigma baru yang di sebut Sound Governance.
Sepuluh tahun lalu di depan Konferensi PBB, Presiden Tanzania Julius K. Nyerere, dengan lantang telah mengkritik habis-habisan Good Governance yang dikatakanya sebagai konsep imperialis dan kolonialis. Good Governance hanya akan mengerdilkan struktur negara berkembang, sementara kekuatan bisnis dunia makin membesar. Terlepas dari benar salahnya kritik sang Presiden, tapi gugatannya terhadap pengaruh struktur global terhadap reformasi pemerintahan inilah yang mengilhami Farazmand untuk tidak hanya terfokus pada tiga aktor (pemerintah, pasar dan civil society) tetapi juga kekuatan internasional.

2.      KONSEP TENTANG SOUND GOVERNANCE
Kata “Sound” menggantikan “Good” adalah juga dalam rangka penghormatan terhadap kenyataan keragaman (diversity). Saat istilah “Good” yang dipakai maka didalamnya terjadi pemaksaan standar nilai. Berbagai proyek dari World Bank, ADB dan UNDP tentang GG juga telah memiliki alat ukur matematis tentang indikator “Good”.
Konsep “Sound” itu bisa diartikan layak, pantas atau ideal dalam konteksnya. Dalam pepatah Jawa disebut empan papan. SG pada prinsipnya juga memberikan ruang bagi tradisi atau invoasi lokal tentang bagaimana negara dan pemerintahan harus ditata, sesuai dengan kebiasaan, budaya dan konteks lokal. Tentu ukuran universal tentang kesejahteraan rakyat dan penghormatan hak dasar harus tetap ditegakkan.
Sound Governance (tata pemerintahan yang layak) adalah ide yang masih baru dan belum bisa dibilang matang. Tetapi setidaknya ia telah membuat tuduhan kritik tanpa solusi menjadi tak lagi beralasan. Sehingga masih banyak ruang untuk berkreasi dan berkontribusi bagi intektual-intektual muda negeri ini. Ia memang tidak dimunculkan murni dari bangsa ini, tetapi ia juga bukan merupakan wajah baru dari dominasi dunia barat yang selama ini menghegemoni seperti halnya GG. SG adalah konsep tata pemerintahan yang santun secara epistimologis. Karena ia membuka ruang dialog yang sangat luas bagi keragaman ide dan praktek tentang makna demokrasi untuk muncul kepermukaan.
     Formula dasar Sound Governance adalah empat aktor lima komponen. Empat aktor sudah diketahui, yaitu
a.       membangun inklusifitas relasi politik antara Negara.
b.      civil society
c.       bisnis;
d.      kekuatan internasional yang mencakup kerjasama global, organisasi dan perjanjian internasional.

Sedangkan lima komponen Sound Governance adalah
a.      Reformasi struktur
          Struktur adalah sebuah badan dari unsur-unsur pokok, aktor, ketentuan, peraturan, prosedur, keputusan-pembuatan kerangka kerja dan sumber-sumber berwenang bahwa sanksi atau mengesahkan proses pemerintahan. Ini perwujudan struktur yang dibentuk dan menjalankan baik secara vertikal dan horizontal dan dipengaruhi oleh banyak faktor internal dan eksternal, lokal dan internasional dan memaksa.
          Proses menjelaskan bagaimana tata kelola pemerintahan bekerja, sedangkan struktur mendefinisikan dan memberi petunjuk untuk proses. Tata kelola yang baik memiliki struktur yang solid, informasi, legitimative, kompeten dan dinamis dalam bentuk dan isi. Dalam pemerintahan umum, misalnya, para pejabat penting, dipilih dan diangkat, para pemangku kepentingan, organisasi nonpemerintah, badan masyarakat, media, masyarakat madani, sektor swasta, dan lembaga dalam negeri dan internasional / global atau kekuasaan adalah bagian-langsung atau tidak langsung-dari struktur pemerintahan dan begitu juga aturan dan cara aturan yang ditetapkan.

b.      Proses
          Sound governance menyangkut tentang proses yang mengatur tentang dengan interaksi dari seluruh elemen atau pihak yang terlibat dan begitu jugal halnya dengan makna dari Good governane. Namun Sound Governance ini bukan hanya membahas tentang proses internal maupun eksternal, tetapi juga memiliki struktur.
c.       nilai
d.      kebijakan
e.       manajemen.































BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
      Semua paradigma di atas menunjukkan bahwa dalam dua dasawarsa terakhir, telah terjadi perubahan orientasi administrasi publik yang sangat cepat. Kegagalan yang dihadapi oleh suatu Negara, telah disadari sebagai akibat dari ketidak beresan administrasi publik. Ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap pengaruh administrasi publik semakin tinggi. Dapat dikatakan bahwaparadigmana NPM orientasinya krpada kepuasan pelanggan sedangkan NPS orientasinya kepada kualitas pelayanan publik. Sedangkan sound Governance (tata pemerintahan yang layak) adalah ide yang masih baru dan belum bisa dibilang matang. Tetapi setidaknya ia telah membuat tuduhan kritik tanpa solusi menjadi tak lagi beralasan. Sehingga masih banyak ruang untuk berkreasi dan berkontribusi bagi intektual-intektual muda negeri ini. SG adalah konsep tata pemerintahan yang santun secara epistimologis. Karena ia membuka ruang dialog yang sangat luas bagi keragaman ide dan praktek tentang makna demokrasi untuk muncul kepermukaan
Menurut Esman (1991) menyarankan untuk menerapkan pluralistic strategy” yang memperhitungkan kebhinekaan dalam setiap Negara sedang berkembang. Strategi ini penting untuk menghindari prismatic contradiction yaitu tumpang tindih antara sistem budaya tradisional (Negara berkembang) dengan sistem budaya modern (Barat).[1]
















DAFTAR PUSTAKA
Keban, Yeremias T. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep, Teori dan Isu. Yogyakarta : Gava Media
Pasalong, Harbaini. 2007. Teori Administrasi Publik. Bandung : Alfabeta
Sundarso, dkk. 2006. Teori Administrasi Publik. Jakarta : Universitas Terbuka 
Syafiie, Inu Kencana. 2003. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANRI). Bandung :Bumi Aksara
_________________. 2006. Ilmu Administrasi Publik. Jakarta : Rvineka Cipta
Thoha, Miftah. 2009. Teoti Administrasi Kontemporer. Jakarta : Kebcaba
Mazdaliva, Ayudya Fitria. 2011.Sejarah perkembangan Administrasi Publik (Artikel).       Diakses melalui situs http://ayudyafitriamasdalifa.blogspot.com tanggal 27 Juni    2011

Chaerunisa, Julia. 2010. Gejala Gejala Old Public Administration yang Masih         Tertinggal.Brebes (Jawa Tengah) : Blogspot.com diakses melalui             http://juliachaerunisa.blogspot.com/2010/12/birokrasi-di-indonesia-gejala-            old.html pada tanggal 22 Juni 2011 pukul 13.00 wib

 



[1]Keban, Yeremias T, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep, Teori dan Isu ( Yogyakarta, 2008) hlm. 243

1 komentar:

  1. matari ini sangat bagus untuk mata kuliah TO, kami jadikan salah satu materi kuliah. tkasih

    BalasHapus