Teori pilihan publik sebagian berasal dari
literatur-literatur tentang keuangan negara yang dikembangkan pada tahun 50-an
oleh beberapa pakar ekonomi politik. Teori-teori tersebut oleh pakar politik
tersebut dikembangkan lebih lanjut menjadi teori publik. Tujuannya adalah untuk
membantu pakar-pakar politik memfasilitasi konsep dari berbagai teori politik
sebagai masalah-masalah aksi kolektif.
Menurut Samuelson
dan Nordhaus (1995), teori pilihan publik adalah salah satu cabang ilmu ekonomi
yang mempelajari bagaimana pemerintah membuat keputusan yang terkait dengan
kepentingan masyarakat (publik). Definisi yang lebih sederhana diberikan oleh
Caporaso dan Levine (1993), yang mengartikan pilihan publik sebagai aplikasi
metode-metode ekonomi terhadap politik. Teori pilihan publik berusaha untuk
mengaplikasikan perangkat analisis ekonomi kedalam proses nonpasar atau politik
dibawah formulasi dan implementasi kebijakan publik, dan juga dikembangkan
sebagai kritik terhadap campur tangan negara dalam ekonomi pasar. Definisi
tersebut sesuai dengan pendapat Buchanan (1984) yang mengatakan bahwa teori
pilihan publik menggunakan alat-alat dan metode-metode yang sudah dikembangkan
hingga tingkat analisis canggih kedalam teori-teori ekonomi dan diaplikasikan
ke sektor politik atau pemerintahan, ke ilmu politik atau ke ekonomi publik.
Bagi Buchanan, yang
merupakan pelopor lahirnya perspektif atau teori pilihan
publik menjelaskan lebih tepat tentang fenomena sosial dan politik.
Pilihan publik bukan sekedar metode dalam arti sempit dan juga bukan alat
analisis biasa yang dipakai untuk menjelaskan kejadian atau fenomena sederhana.
Pilihan publik adalah sebuah perspektif untuk bidang sosial dan politik yang
muncul dari pengembangan dan penerapan perangkat dan metode ilmu ekonomi. Teori
pilihan publik ini berguna untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan
kolektif dan berbagai fenomena nonpasar.
Teori pilihan publik
bukan metode dalam arti biasa, juga bukan seperangkat alat analisis, melainkan
sebuah pandangan untuk bidang politik. Pandangan ini muncul dari pengembangan
dan penerapan perangkat dan metode ilmu ekonomi terhadap proses pengambilan
keputusan kolektif dan berbagai fenomena-fenomena yang bersifat
nonpasar.
Teori pilihan publik
dapat digunakan untuk mempelajari perilaku para aktor politik maupun
sebagai petunjuk bagi pengambilan keputusan dalam penentuan pilihan kebijakan
publik yang paling efektif. Yang menjadi subyek dalam telaah pilihan publik
yaitu pemilih, partai politik, politisi, birokrat baik yang berkuasa karena
dipilih maupun ditunjuk, kelompok kepentingan yang semuanya secara tradisional
lebih banyak dipelajari oleh pakar-pakar politik. Teori pilihan publik ini
mendeskripsikan bahwa secara tipikal, ahli ekonomi politik melihat bahwa dalam
wujud demokrasi, yang memberi ruang untuk saling melakukan pertukaran diantara
masyarakat, partai politik, pemerintah dan birokrat. Dalam konteks itu, masyarakat
pemilih diposisikan sebagai pembeli barang-barang kolektif (publik), sedangkan
pemerintah dan partai politik dipertimbangkan sebagai alternatif penyedia
kebijakan publik (barang dan jasa) sehingga dalam jangka panjang mereka bisa
memungut dukungan dari pemilih lewat pemilihan umum. Singkatnya dalam proses
semacam itu, setiap formulasi kebijakan dan dukungan dianggap sebagai proses
distribusi nisbah ekonomi melalui pasar politik.
Premis dasar pilihan
publik ialah bahwa pembuat keputusan politik (pemilih, politisi, birokrat) dan
pembuat keputusan privat (konsumen, produsen, perantara) bertindak
dengan cara yang sama yaitu mereka bertindak sesuai kepentingan pribadi dalam
kenyataan, pembuat keputusan ekonomi biasanya adalah orang yang sama. Tegasnya,
orang yang membeli barang keperluan sehari-hari (konsumen) adalah orang yang
juga memilih dalam suatu pemilihan.
Dalam model pilihan
publik, politik tidak dipandang sebagai arena memperebutkan kekuasaan seperti
yang digunakan dalam pendekatan politik murni, melainkan lebih dipandang
sebagai “arena permainan” yang memungkinkan terjadinya pertukaran diantara
warga negara, partai-partai politik, pemerintah dan birokrat. Aturan yang harus
diikuti dalam “permainan politik” adalah konstitusi dan sistem pemilihan. Adapun
yang menjadi pemain dalam dalam pasar politik adalah para pemilih sebagai
konsumen atau pembeli barang-barang publik, dan wakil rakyat sebagai legislatif
atau politikus, yang bertindak layaknya seorang wirausahawan yang
menginterpretasikan permintaan rakyat terhadap barang-barang publik dan
mencarikan jalan sekaligus memperjuangkan agar barang-barang publik tersebut
sampai kepada kelompok-kelompok pemilih yang memilih mereka dalam pemilihan.
Selain pemilih sebagai
konsumen dan legislatif serta partai-partai sebagai pemasok, kadang-kadang ikut
serta juga organisasi kelompok kepentingan dalam permainan politik. Mereka
mewakili suatu kelompok masyarakat atau bisnis tertentu yang diorganisasi untuk
melobi pengambil keputusan untuk mengeluarkan kebijakan yang mengakomodasikan
kepentingan para anggotanya, apakah itu kelompok pertanian, guru, buruh,
pebisnis, dan sebagainya. Kadang kelompok kepentingan ini memiliki kekuatan
politik melebihi jumlah anggotanya.
Dari uraian diatas
terlihat bahwa dalam model pilihan publik, hasil politik ditentukan oleh
permintaan dan penawaran, sama seperti halnya proses terbentuknya
harga dalam pasar persaingan sempurna. Pada sisi penawaran, terdapat 2 subjek
yang berperan dalam formulasi kebijakan, yakni pusat kekuasaan yang dipilih dan
pusat kekuasaan yang tidak dipilih. Yang termasuk dalam pusat kekuasaan yang
dipilih adalah badan legislatif dan eksekutif (pemerintah pusat dan daerah).
Sedangkan yang tergolong pusat kekuasaan yang tidak dipilih antara lain
cabang-cabang eksekutif, lembaga independen, dan organisasi internasional yang
keberadaannya tidak dipilih. Hanya saja dengan pilihan publik, konsep barter
dan pertukaran yang sederhana, sesuai konsep ekonomi murni, menjadi lebih
kompleks sifatnya. Pertukaran dalam pengertian yang lebih kompleks ini
diartikan sebagai suatu proses persetujuan kontrak yang lebih luas makna dan
cakupannya dari pertukaran yang dilakukan oleh dua orang yang melakukan
transaksi, sebab tekanan akhir dari persetujuan kontrak ialah proses
persetujuan sukarela diantara banyak orang dalam masyarakat. Dalam hal ini,
pilihan publik tidak menolak kemungkinan adanya kepentingan kolektif, tetapi
kalaupun ada maka semua itu hanya merupakan hasil dari segenap kepentingan
individu yang ada dalam kelompok.
Dalam level analisis,
teori pilihan publik bisa dibagi menjadi 2 kategori :
1. Teori pilihan publik normatif. Biasanya terkait dengan
isu-isu desain politik, aturan-aturan dasar politik, dan kerangka
konstitusional dimana proses-proses politik berlangsung. Teori pilihan publik
normatif terkait dengan analisis tentang sifat-sifat yang diinginkan
dari sistem politik. Misalnya, pengaturan kelembagaan mana yang lebih efisien,
yang lebih adil atau yang lebih responsif? Struktur pemerintahan bagaimana yang
bisa mencegah pemusatan kekuasaan? Pendeknya teori ini berhubungan dengan
kerangka kerja konstitusi yang mengambil tempat dalam proses politik.
2. Teori pilihan publik positif tidak berbicara tentang
nilai-nilai, melainkan lebih fokus pada upaya menjelaskan. Dengan asumsi bahwa
tiap warga bertindak atas dasar kepentingan pribadi. Pilihan publik positif
terkait dengan upaya menjelaskan perilaku politik yang dapat diobservasi dalam
istilah-istilah pilihan secara teroritis. Yang sering dibahas dalam pilihan publik
positif ialah mengapa dan bagaimana orang membentuk hukum atau undang-undang,
membentuk institusi-institusi politik, bergabung dengan kelompok, atau memilih?
Dengan kata lain, teori pilihan publik positif beroperasi pada wilayah dunia
nyata.
Asumsi umum yang
dipakai dalam teori pilihan publik bisa dijelaskan dalam 4 poin
berikut: (i) kecukupan kepentingan material individu memotivasi
adanya perilaku ekonomi; (ii) motif kecukupan tersebut lebbih mudah dipahami
dengan menggunakan teori ekonomi neoklasik; (iii) kecukupan kepentingan
material individu yang sama memotivasi adanya perilaku politik; dan (iv) dimana
asumsi kecukupan (kepentingan yang sama) tersebut lebih mudah dipahami dengan
menggunakan teori ekonomi neoklasik.
Teori pilihan publik
secara umum digunakan dibanyak disiplin ilmu dengan nama yang berbeda, seperti
‘public choice’ (ilmu politik), ‘rational choice theory’ (ilmu ekonomi dan
sosiologi), dan ‘expected utility theory’ (ilmu psikologi). Pengertian rasionalitas
tersebut diaplikasikan kedalam beberapa konsep, misalnya keyakinan,
pilihan, tindakan, pola perilaku, individu serta kelompok dan lembaga. Secara
prinsip, teori pilihan publik tersebut mellihat tindakan manusia dalam
pengertian ekonomi dan tidak terkait dengan nilai-nilai yang menuntun keputusan
rasional. Alasan inilah yang dijadikan pertimbangan utama sehingga teori
pilihan publik meletakan individu sebagai bagian dari struktur sosial tertentu,
sehingga perilakunya sebagian bisa ditebak dari kelompok (sosial, politik dan
budaya) mana ia berasal.
Sejak tahun 1967, teori mengenai “rent-seeking” (pemburu
rente)ini dikembangkan oleh Gordon Tullock, dan istilah “rent” disini
berkembang menjadi tidak dalam pengertian yang sama dengan yang dimaksudkan
oleh Adam Smith. Fenomena dari rent seeking ini teridentifikasi dalam
hubungannya dengan monopoli. Selanjutnya, rentseeking (pemburu rente) menjadi
bermakna suatu proses dimana seseorang atau sebuah perusahaan mencari
keuntungan melalui manipulasi dari situasi ekonomi (politik, aturan-aturan,
regulasi, tariff dll) daripada melalui perdagangan.
Istilah
rent seeking sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Anne Krueger pada tahun
1973 dalam tulisan yang mengulas tentang pemikiran Gordon Tullock. Menurut
Didik J Rachbani, “perburuan rente ekonomi terjadi ketika seorang pengusaha
atau perusahaan mengambil manfaat atau nilai yang tidak dikompensasikan dari
yang lain dengan melakukan manipulasi pada lingkungan usaha atau bisnis.
Manipulasi pada lingkungan usaha tersebut juga terjadi, karena perebutan
monopoli atas aturan main atau regulasi. Karena itu, pelaku usaha yang melobi
untuk mempengaruhi aturan lebih memihak dirinya dengan pengorbanan pihak
lainnya disebut pemburu rente (“rent seekers”). Praktik berburu rente ekonomi
juga diasosiasikan dengan usaha untuk mengatur regulasi ekonomi melalui lobi
kepada pemerintah dan parlemen. Penetapan tarif oleh pemerintah untuk kelompok
bisnis juga merupakan bagian dari praktik tersebut. Hal yang sama dalam
pemberian monopoli impor gandum, beras,gula, dan sejenisnya merupakan bagian
dari praktik perburuan rente ekonomi” (Suara Merdeka, 28 November 2005).
Menurut
Michael Ross , pemburu rente/rent seeking dapat dibagi menjadi dua tipe :
1.
Rent Creation, dimana perusahaan (firms) mencari keuntungan yang dibuat
oleh Negara dengan menyogok politisi dan birokrat (in whichfirms seek rents
created by the state, by bribing politicians andbureaucrats)
2.
Rent Extraction, dimana politisi dan birokrat mencari keuntungan dari
perusahaan dengan mengancam perusahaan dengan peraturan-peraturan (in which
politicians and bureaucrats seek rents held by firms, bythreatening fims with
costly regulations)
Selain
kedua tipe di atas, masih ada satu tipe lagi, yaitu :
3.
Rent Seizing, dimana terjadi ketika aktor-aktor negara atau birokrat
berusaha untuk mendapatkan hak mengalokasikan rente yang dihasilkandari
institusi-institusi Negara untuk kepentingan individunya ataukelompoknya. (rent
seizing: as efforts by state actors to gain theright to allocate rents).
GOOD JOB BRO
BalasHapus