Selasa, 01 April 2014

PUBLIK CHOICE DAN RENT SEKING DALAM PANDANGAN EKONOMI POLITIK



    Teori pilihan publik sebagian berasal dari literatur-literatur tentang keuangan negara yang dikembangkan pada tahun 50-an oleh beberapa pakar ekonomi politik. Teori-teori tersebut oleh pakar politik tersebut dikembangkan lebih lanjut menjadi teori publik. Tujuannya adalah untuk membantu pakar-pakar politik memfasilitasi konsep dari berbagai teori politik sebagai masalah-masalah aksi kolektif.
Menurut  Samuelson dan Nordhaus (1995), teori pilihan publik adalah salah satu cabang ilmu ekonomi yang mempelajari bagaimana pemerintah membuat keputusan yang terkait dengan kepentingan masyarakat (publik). Definisi yang lebih sederhana diberikan oleh Caporaso dan Levine (1993), yang mengartikan pilihan publik sebagai aplikasi metode-metode ekonomi terhadap politik. Teori pilihan publik berusaha untuk mengaplikasikan perangkat analisis ekonomi kedalam proses nonpasar atau politik dibawah formulasi dan implementasi kebijakan publik, dan juga dikembangkan sebagai kritik terhadap campur tangan negara dalam ekonomi pasar. Definisi tersebut sesuai dengan pendapat Buchanan (1984) yang mengatakan bahwa teori pilihan publik menggunakan alat-alat dan metode-metode yang sudah dikembangkan hingga tingkat analisis canggih kedalam teori-teori ekonomi dan diaplikasikan ke sektor politik atau pemerintahan, ke ilmu politik atau ke ekonomi publik.
Bagi Buchanan, yang merupakan pelopor lahirnya perspektif atau teori pilihan publik  menjelaskan lebih tepat tentang fenomena sosial dan politik. Pilihan publik bukan sekedar metode dalam arti sempit dan juga bukan alat analisis biasa yang dipakai untuk menjelaskan kejadian atau fenomena sederhana. Pilihan publik adalah sebuah perspektif untuk bidang sosial dan politik yang muncul dari pengembangan dan penerapan perangkat dan metode ilmu ekonomi. Teori pilihan publik ini berguna untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan kolektif dan berbagai fenomena nonpasar.
Teori pilihan publik bukan metode dalam arti biasa, juga bukan seperangkat alat analisis, melainkan sebuah pandangan untuk bidang politik. Pandangan ini muncul dari pengembangan dan penerapan perangkat dan metode ilmu ekonomi terhadap proses pengambilan keputusan kolektif  dan berbagai fenomena-fenomena yang bersifat nonpasar.
Teori pilihan publik dapat digunakan untuk mempelajari perilaku para aktor politik maupun sebagai petunjuk bagi pengambilan keputusan dalam penentuan pilihan kebijakan publik yang paling efektif. Yang menjadi subyek dalam telaah pilihan publik yaitu pemilih, partai politik, politisi, birokrat baik yang berkuasa karena dipilih maupun ditunjuk, kelompok kepentingan yang semuanya secara tradisional lebih banyak dipelajari oleh pakar-pakar politik. Teori pilihan publik ini mendeskripsikan bahwa secara tipikal, ahli ekonomi politik melihat bahwa dalam wujud demokrasi, yang memberi ruang untuk saling melakukan pertukaran diantara masyarakat, partai politik, pemerintah dan birokrat. Dalam konteks itu, masyarakat pemilih diposisikan sebagai pembeli barang-barang kolektif (publik), sedangkan pemerintah dan partai politik dipertimbangkan sebagai alternatif penyedia kebijakan publik (barang dan jasa) sehingga dalam jangka panjang mereka bisa memungut dukungan dari pemilih lewat pemilihan umum. Singkatnya dalam proses semacam itu, setiap formulasi kebijakan dan dukungan dianggap sebagai proses distribusi nisbah ekonomi melalui pasar politik.
Premis dasar pilihan publik ialah bahwa pembuat keputusan politik (pemilih, politisi, birokrat) dan pembuat keputusan privat (konsumen, produsen, perantara)  bertindak dengan cara yang sama yaitu mereka bertindak sesuai kepentingan pribadi dalam kenyataan, pembuat keputusan ekonomi biasanya adalah orang yang sama. Tegasnya, orang yang membeli barang keperluan sehari-hari (konsumen) adalah orang yang juga memilih dalam suatu pemilihan.
Dalam model pilihan publik, politik tidak dipandang sebagai arena memperebutkan kekuasaan seperti yang digunakan dalam pendekatan politik murni, melainkan lebih dipandang sebagai “arena permainan” yang memungkinkan terjadinya pertukaran diantara warga negara, partai-partai politik, pemerintah dan birokrat. Aturan yang harus diikuti dalam “permainan politik” adalah konstitusi dan sistem pemilihan. Adapun yang menjadi pemain dalam dalam pasar politik adalah para pemilih sebagai konsumen atau pembeli barang-barang publik, dan wakil rakyat sebagai legislatif atau politikus, yang bertindak layaknya seorang wirausahawan yang menginterpretasikan permintaan rakyat terhadap barang-barang publik dan mencarikan jalan sekaligus memperjuangkan agar barang-barang publik tersebut sampai kepada kelompok-kelompok pemilih yang memilih mereka dalam pemilihan.
Selain pemilih sebagai konsumen dan legislatif serta partai-partai sebagai pemasok, kadang-kadang ikut serta juga organisasi kelompok kepentingan dalam permainan politik. Mereka mewakili suatu kelompok masyarakat atau bisnis tertentu yang diorganisasi untuk melobi pengambil keputusan untuk mengeluarkan kebijakan yang mengakomodasikan kepentingan para anggotanya, apakah itu kelompok pertanian, guru, buruh, pebisnis, dan sebagainya. Kadang kelompok kepentingan ini memiliki kekuatan politik melebihi jumlah anggotanya.
Dari uraian diatas terlihat bahwa dalam model pilihan publik, hasil politik ditentukan oleh permintaan dan penawaran, sama seperti halnya  proses terbentuknya harga dalam pasar persaingan sempurna. Pada sisi penawaran, terdapat 2 subjek yang berperan dalam formulasi kebijakan, yakni pusat kekuasaan yang dipilih dan pusat kekuasaan yang tidak dipilih. Yang termasuk dalam pusat kekuasaan yang dipilih adalah badan legislatif dan eksekutif (pemerintah pusat dan daerah). Sedangkan yang tergolong pusat kekuasaan yang tidak dipilih antara lain cabang-cabang eksekutif, lembaga independen, dan organisasi internasional yang keberadaannya tidak dipilih. Hanya saja dengan pilihan publik, konsep barter dan pertukaran yang sederhana, sesuai konsep ekonomi murni, menjadi lebih kompleks sifatnya. Pertukaran dalam pengertian yang lebih kompleks ini diartikan sebagai suatu proses persetujuan kontrak yang lebih luas makna dan cakupannya dari pertukaran yang dilakukan oleh dua orang yang melakukan transaksi, sebab tekanan akhir dari persetujuan kontrak ialah  proses persetujuan sukarela diantara banyak orang dalam masyarakat. Dalam hal ini, pilihan publik tidak menolak kemungkinan adanya kepentingan kolektif, tetapi kalaupun ada maka semua itu hanya merupakan hasil dari segenap kepentingan individu yang ada dalam kelompok.
Dalam level analisis, teori pilihan publik bisa dibagi menjadi 2 kategori :
1.      Teori pilihan publik normatif. Biasanya terkait dengan isu-isu desain politik, aturan-aturan dasar politik, dan kerangka konstitusional dimana proses-proses politik berlangsung. Teori pilihan publik normatif  terkait dengan analisis tentang sifat-sifat yang diinginkan dari sistem politik. Misalnya, pengaturan kelembagaan mana yang lebih efisien, yang lebih adil atau yang lebih responsif? Struktur pemerintahan bagaimana yang bisa mencegah pemusatan kekuasaan? Pendeknya teori ini berhubungan dengan kerangka kerja konstitusi yang mengambil tempat dalam proses politik.
2.      Teori pilihan publik positif tidak berbicara tentang nilai-nilai, melainkan lebih fokus pada upaya menjelaskan. Dengan asumsi bahwa tiap warga bertindak atas dasar kepentingan pribadi. Pilihan publik positif terkait dengan upaya menjelaskan perilaku politik yang dapat diobservasi dalam istilah-istilah pilihan secara teroritis. Yang sering dibahas dalam pilihan publik positif ialah mengapa dan bagaimana orang membentuk hukum atau undang-undang, membentuk institusi-institusi politik, bergabung dengan kelompok, atau memilih? Dengan kata lain, teori pilihan publik positif beroperasi pada wilayah dunia nyata.
Asumsi umum yang dipakai dalam teori pilihan publik bisa dijelaskan dalam 4 poin berikut:  (i) kecukupan kepentingan material individu memotivasi adanya perilaku ekonomi; (ii) motif kecukupan tersebut lebbih mudah dipahami dengan menggunakan teori ekonomi neoklasik; (iii) kecukupan kepentingan material individu yang sama memotivasi adanya perilaku politik; dan (iv) dimana asumsi kecukupan (kepentingan yang sama) tersebut lebih mudah dipahami dengan menggunakan teori ekonomi neoklasik.
Teori pilihan publik secara umum digunakan dibanyak disiplin ilmu dengan nama yang berbeda, seperti ‘public choice’ (ilmu politik), ‘rational choice theory’ (ilmu ekonomi dan sosiologi), dan ‘expected utility theory’ (ilmu psikologi). Pengertian rasionalitas tersebut diaplikasikan kedalam beberapa konsep, misalnya keyakinan, pilihan, tindakan, pola perilaku, individu serta kelompok dan lembaga. Secara prinsip, teori pilihan publik tersebut mellihat tindakan manusia dalam pengertian ekonomi dan tidak terkait dengan nilai-nilai yang menuntun keputusan rasional. Alasan inilah yang dijadikan pertimbangan utama sehingga teori pilihan publik meletakan individu sebagai bagian dari struktur sosial tertentu, sehingga perilakunya sebagian bisa ditebak dari kelompok (sosial, politik dan budaya) mana ia berasal.
Sejak tahun 1967, teori mengenai “rent-seeking” (pemburu rente)ini dikembangkan oleh Gordon Tullock, dan istilah “rent” disini berkembang menjadi tidak dalam pengertian yang sama dengan yang dimaksudkan oleh Adam Smith. Fenomena dari rent seeking ini teridentifikasi dalam hubungannya dengan monopoli. Selanjutnya, rentseeking (pemburu rente) menjadi bermakna suatu proses dimana seseorang atau sebuah perusahaan mencari keuntungan melalui manipulasi dari situasi ekonomi (politik, aturan-aturan, regulasi, tariff dll) daripada melalui perdagangan.
Istilah rent seeking sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Anne Krueger pada tahun 1973 dalam tulisan yang mengulas tentang pemikiran Gordon Tullock. Menurut Didik J Rachbani, “perburuan rente ekonomi terjadi ketika seorang pengusaha atau perusahaan mengambil manfaat atau nilai yang tidak dikompensasikan dari yang lain dengan melakukan manipulasi pada lingkungan usaha atau bisnis. Manipulasi pada lingkungan usaha tersebut juga terjadi, karena perebutan monopoli atas aturan main atau regulasi. Karena itu, pelaku usaha yang melobi untuk mempengaruhi aturan lebih memihak dirinya dengan pengorbanan pihak lainnya disebut pemburu rente (“rent seekers”). Praktik berburu rente ekonomi juga diasosiasikan dengan usaha untuk mengatur regulasi ekonomi melalui lobi kepada pemerintah dan parlemen. Penetapan tarif oleh pemerintah untuk kelompok bisnis juga merupakan bagian dari praktik tersebut. Hal yang sama dalam pemberian monopoli impor gandum, beras,gula, dan sejenisnya merupakan bagian dari praktik perburuan rente ekonomi” (Suara Merdeka, 28 November 2005).
Menurut Michael Ross , pemburu rente/rent seeking dapat dibagi menjadi dua tipe :
1. Rent Creation, dimana perusahaan (firms) mencari keuntungan yang dibuat oleh Negara dengan menyogok politisi dan birokrat (in whichfirms seek rents created by the state, by bribing politicians andbureaucrats)
2. Rent Extraction, dimana politisi dan birokrat mencari keuntungan dari perusahaan dengan mengancam perusahaan dengan peraturan-peraturan (in which politicians and bureaucrats seek rents held by firms, bythreatening fims with costly regulations)
Selain kedua tipe di atas, masih ada satu tipe lagi, yaitu :
3. Rent Seizing, dimana terjadi ketika aktor-aktor negara atau birokrat berusaha untuk mendapatkan hak mengalokasikan rente yang dihasilkandari institusi-institusi Negara untuk kepentingan individunya ataukelompoknya. (rent seizing: as efforts by state actors to gain theright to allocate rents).

1 komentar: