Selasa, 01 April 2014

WAJAH BIROKRASI DI INDONESIA DALAM KONTEKS KORUPSI DAN ETIKA BIROKRASI





 oleh kak dollar monica seles

Bp.0910842034


Pendahuluan
Dewasa ini di Indonesia banyak kasus yang berhubungan dengan etika dan moralitas. Kasus-kasus seperti korupsi, penyuapan, penggelapan, gratifikasi dan mafia kasus dalam peradilan serta mafia pajak yang terjadi belakangan ini tentunya sangat bertentangan dengan etika dan moralitas.
Kasus-kasus yang berhubungan dengan etika dalam birokrasi pemerintahan  seperti yang telah disebutkan di atas melibatkan beberapa profesi yang melakukan pelanggaran terhadap etika seperti pejabat administrasi negara, anggota legislatif, jaksa, hakim, kepolisian, pegawai perpajakan, dan lain sebagainya.
Pihak-pihak yang terlibat dalam kasus-kasus yang terjadi di dalam konteks etika berasal dari seluruh elemen pemerintahan baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Padahal pejabat pemerintah baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif harus mematuhi etika jabatannya masing-masing. Etika dalam birokrasi pemerintahan merupakan hal yang sangat penting untuk keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan dan untuk menjaga citra birokrasi agar birokrasi pemerintahan terus mendapat kepercayaan dari masyarakat.

I.            Etika Birokrasi
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos, yang artinya kebiasaan atau watak, sedangkan moral berasal dari bahasa Latin yaitu mos yang artinya cara hidup atau kebiasaan. Dari istilah ini muncul pula istilah moril dan norma, moril bisa berarti semangat atau dorongan batin, sedangkan norma dalam bahasa Inggris berarti aturan atau kaidah. Etika cenderung dipandang sebagai suatu cabang ilmu dalam filsafat yang mempelajari nilai-nilai baik dan buruk bagi manusia (Kumorotomo : 2008).
Etika adalah kebiasaan yang baik dalam masyarakat, yang kemudian mengendap menjadi norma-norma atau kaidah atau dengan kata lain yang menjadi normatif dalam perikehidupan manusia ( Simorangkir : 1978 ).
Menurut Weber, birokrasi adalah metode organisasi terbaik dengan spesialisasi tugas. Walaupun kemudian banyak pakar yang mengkritik Weber, seperti Warren Bennis yang menyampaikan perlunya kebijaksanaan memperhatikan keberadaan manusia itu sendiri. Birokrasi tetap akan diperlukan di kantor-kantor pemerintah, terutama di negara-negara berkembang yang harus dipacu dengan kedisiplinan.
Selama ini banyak pakar yang menulis dan meneliti tentang birokrasi yaitu bahwa fungsi dari staf pegawai administrasi memiliki cara-cara yang spesifik agar lebih efektif dan efisien, yaitu :
a.     Kerja yang ketat pada peraturan (rule)
b.     Tugas yang khusus (spesialisasi)
c.     Kaku dan sederhana (zakelijk)
d.     Penyelenggaraan yang resmi (formal)
e.     Pengaturan dari atas ke bawah (hirarki)
f.      Berdasarkan logika (rasional)
g.     Tersentralistis (otoritas)
h.     Taat dan patuh (obedience)
i.      Disiplin (dicipline)
j.      Tersruktur (sistematis)
k.     Tanpa pandang bulu (impersonal).
Inilah prinsip dasar dan karakteristik yang ideal dari birokrasi yang pertama kali ditulis Max Weber (Max Weber : 1946). Namun prinsip ideal yang dikemukakan Weber tidak memperhatikan aspek manusia itu sendiri dalam birokrasi. Padahal efektivitas dan efisiensi birokrasi sangat dipengaruhi oleh etika dan moralitas dari pegawainya.
II.            Karakteristik Good Governance dalam Menata Ulang Manajemen Pemerintahan
OECD dan World Bank mensinonimkan good governance dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab, sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan korupsi, baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan. Sedangkan UNDP mendefinisikan good governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif diantara negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Berdasarkan definisi tersebut UNDP kemudian mengajukan karakteristik good governance yang saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri, sebagai berikut :
1. Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berassosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2. Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa perbedaan, terutama hukum hak asasi manusia.
3. Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dipantau.
4. Responsiveness. Lembaga dan proses harus mencoba untuk melayani stakeholders.
5. Consensus Orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan maupun prosedur.
6. Effectiveness and efficiency. Proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber yang tersedia sebaik mungkin.
7. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
8. Strategic vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas serta jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.
Atas dasar uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergisan ineraksi yang konstruktif diantara ketiga domain; negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Oleh karena good governance meliputi sistem administrasi negara, maka upaya mewujudkan good governance juga merupakan upaya melakukan penyempurnaan pada sistem administrasi negara yang berlaku pada suatu negara secara menyeluruh.
Jika dilihat dari ketiga domain dalam governance, tampaknya domain state menjadi domain yang paling memegang peranan penting dalam mewujudkan good governance, karena fungsi pengaturan yang memfasilitasi domain sektor dunia usaha swasta dan masyarakat (society) serta fungsi administratif penyelenggaraan pemerintahan melekat pada domain ini. peran pemerintah melalui kebijakan publiknya sangat penting dalam memfasilitasi berjalannya mekanisme pasar yang benar sehingga penyimpangan yang terjadi di dalam pasar dapat dihindari. Oleh karena itu, upaya perwujudan ke arah good governance dapat dimulai dengan membangun landasan demokratisasi penyelenggaraan negara dan dilakukan upaya pembenahan penyelenggara pemerintahan sehingga dapat terwujud good governance.


Etika jabatan atau etika birokrasi adalah etika yang berkaitan dengan tugas-tugas yang dilakukan seseorang yang ditunjukkan oleh kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab tertentu yang membutuhkan waktu dan perhatian penuh yang dilakukan oleh pemegang jabatan tersebut ( Simorangkir : 1978 ).
Dengan demikian etika birokrasi adalah suatu kebiasaan yang baik dalam birokrasi, yang kemudian mengendap menjadi norma-norma atau kaidah atau dengan kata lain yang menjadi normatif dalam perikehidupan manusia dan penyelenggaraan administrasi negara.
Kedudukan etika administrasi negara berada di antara etika profesi dan etika politik, sehingga tugas-tugas administrasi negara tetap memerlukan perumusan kode etik yang dapat dijadikan sebagai pedoman bertindak bagi segenap aparat publik. Kode etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanksi atau hukuman dari pihak luar, setiap orang tetap menaatinya. Kode etik merupakan persetujuan bersama, yang timbul dari diri para anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka, sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan (Simorangkir : 1978).
Kode etik adalah suatu alat untuk menunjang pencapaian tujuan suatu organisasi atau sub-organisasi atau bahkan kelompok-kelompok yang belum terikat dalam suatu organisasi. Pada dasarnya kode etik adalah suatu hukum etik. Hukum etik itu biasanya dibuat oleh suatu organisasi atau suatu kelompok, sebagai suatu patokan tentang sikap mental yang wajib dipatuhi oleh para anggotanya dalam menjalankan tugasnya (Suyamto : 1989).
Salah satu sumber formal kode etik yang berlaku bagi setiap pegawai atau pejabat pemerintah adalah ketentuan mengenai Sapta Prasetya KORPRI. Ungkapan-ungkapan yang mengandung nilai-nilai etis tetapi terasa abstrak juga terdapat dalam sumpah jabatan pegawai negeri yang harus diucapkan pada saat mereka dilantik (Kumorotomo : 1999).
Pejabat pemerintah dalam menjalankan pekerjaannya seharusnya sesuai dengan etika jabatannya masing-masing dan mempunyai kewajiban serta tanggung jawab moral kepada masyarakat. Namun pada kenyataannya, para birokrat dalam menjalankan pekerjaannya tidak sesuai dengan aturan dan kode etik yang berlaku. Beberapa gambaran tentang birokrasi pemerintahan di Indonesia yang berhubungan dengan konteks etika antara lain :
a.     Segala bentuk korupsi baik penyuapan, penggelapan, penyelewengan, kolusi, nepotisme dan gratifikasi sudah menjadi budaya dalam birokrasi pemerintahan di negara kita. Pejabat administrasi negara dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan publik tidak terlepas dari praktek-praktek korupsi dan budaya amplop. Saat ini masih banyak ditemui pelayanan yang berbelit-belit dalam birokrasi sehingga memungkinkan untuk pemberian uang pelicin kepada pejabat administrasi negara untuk memperlancar kegiatan administrasi.
b.     Banyaknya kasus penyuapan dan gratifikasi yang dilakukan oleh pejabat administrasi negara kepada anggota DPR untuk melancarkan urusan administrasinya seperti meminta pemberian ijin dan pengalihan pengurusan pengelolaan sumber daya alam tertentu kepada daerah. Contoh kasusnya yaitu adanya kasus penyuapan dan gratifikasi yang dilakukan oleh Sekertaris Daerah Bintan kepada Komisi IV DPR dalam pengalihan fungsi hutan lindung di Bintan.
c.     Masih banyaknya penyelewengan dan penggelapan dalam penggunaan dana baik dana APBN dari pusat, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dana APBD, maupun Alokasi Dana Desa. Biasanya harga-harga maupun jumlah item barang yang tercantum dalam laporan keuangannya dibuat fiktif dan tidak sesuai fakta di lapangan.
d.     Adanya indikasi pemerasan, komisi, dan nepotisme yang dilakukan oleh pejabat administrasi negara dalam sistem lelang atau tender yang diadakan pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa.
e.     Adanya mafia kasus dalam peradilan yang melibatkan aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Contoh kasus yang terjadi antara lain kasus penyuapan Jaksa Urip oleh Artalyta Suryani untuk penanganan kasus Anggodo Widjojo. Kemudian kasus penyuapan Kabareskrim Komjen Susno Duadji serta adanya kasus penyuapan dan pemerasan anggota KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah.
f.      Belakangan ini marak diperbincangkan di media massa maupun elektronik adanya kasus mafia pajak yang dilakukan oleh Gayus Tambunan, salah satu dari pegawai perpajakan yang memiliki harta milyaran dari hasil penyuapan beberapa wajib pajak dalam pengurusan dan penghapusan tanggungan pajak beberapa wajib pajak tertentu. Kasus terbaru adalah Gayus Tambunan berhasil menyuap pihak kepolisian dan kejaksaan senilai jutaan rupiah dengan tujuan agar beberapa waktu dapat keluar dari tahanan dan dapat mengunjungi berbagai tempat yang diinginkan. Gayus tertangkap kamera wartawan sedang melihat pertandingan tennis di Bali. Hal ini memperlihatkan betapa mudahnya aparat penegak hukum disuap oleh para tersangka dan terpidana.
Dari gambaran di atas, dapat kita ketahui bagaimana buruknya wajah para birokrat Indonesia baik pejabat administrasi negara, kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan sebagainya yang sarat akan praktek korupsi dalam bentuk penyuapan, pemberian gratifikasi, penggelapan, penyelewengan dana APBN, pemerasan, komisi, dan nepotisme dalam pelaksanaan tender dan sebagainya.
Asas-asas umum birokrasi pemerintahan yang baik :
a.     Prinsip Demokrasi
Pilar utama prinsip demokrasi adalah asas kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat mensyaratkan bahwa rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan negara, rakyat yang menentukan kehendak negara dan rakyat yang akan menentukan pula bagaimana berbuatnya (Joeniarto, 1984 :17).
Maka dalam sistem pemerintahan yang memakai asas kedaulatan rakyat, kepentingan rakyat menempati kedudukan yang paling tinggi. Setiap anggota dewan perwakilan, kepala negara, menteri dan segenap aparatur negara diwajibkan bertindak sesuai dengan kehendak rakyat dalam arti yang luas.
b.     Keadilan Sosial dan Pemerataan
Salah satu asas umum pemerintahan dan administrasi pembangunan yang perlu mendapat perhatian lebih besar sekarang ini adalah yang menyangkut keadilan (equity) dan pemerataan (even distribution / fair distribution). Kedua konsep ini juga merupakan landasan pokok bagi etika pembangunan dan merupakan ukuran moralitas bagi kebijakan publik.

c.     Mengusahakan Kesejahteraan Umum
Salah satu prasyarat legitimasi kekuasaan negara ialah apabila negara, melalui aktivitas-aktivitas pemerintahan dapat mengusahakan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat (Kumorotomo, 1999 : 275).

Kemudian di dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 memuat sendi-sendi pelayanan yang harus dicakup birokrasi dalam pemberian pelayanan publik di Indonesia, antara lain kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan, keterbukaan, efisien, ekonomis, keadilan yang merata, serta ketepatan waktu.
Dengan aturan yang baku tersebut secara ideal pola pelayanan di Indonesia telah mendapatkan bentuk yang dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Dengan demikian, sebenarnya tidak ada alasan bagi para pelaksana pelayanan publik untuk memposisikan mereka sebagai superior terhadap pengguna jasa layanan.

2. 1. Mal-Administrasi
Dalam era reformasi, banyak “mal pratik” pada tubuh birokrasi yang selama era orde baru terjadi diblejeti satu persatu oleh masyarakat, baik mal-praktek dalam bentuk “korupsi, kolusi, maupun nepotisme” .KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) merupakan tindakan yang menyimpang hukum dan biasanya pada kasus-kasus ini terdapat banyak penyimpangan serta penyelewengan pada law enforcement, hal ini sangat besar kemungkinan pada etika adaministrasi negara dalam revitalisasi manajemen pemerintahan dalam rangka upaya penataan ulang pemerintahan Indonesia yang tidak sesuai dengan good governance. Pada kenyataan nya Law enforcement dalam manajemen pemerintahan di Indonesia sangat diabaikan sehingga akan sangat menjadi ancaman bagi manajemen pemerintahan dalam upaya menata ulang manajemen pemerintahan yang sehat dan dapat meminimalisir terjadinya birokatologi dan mal administrasi.Sebenarnya apakah yang menjadi landasan dasar yang dapat menjadi aacuan, pedoman, dan referensi dalam melaksanakan manajemen pemerintahan yang baik dan sehat serta birokrasi yang sehat adalah etika administrasi yang memiliki acuan dan pedoman serta referensi, salah satu wujud konkrit yang tegas dalam menindaklanjuti mal administrasi seprti contoh yang sangat sering terjadi Korupsi, melalui Law enforcement maka semua penyelewengan akan mudah diminimalisir, Law enforcement akan mudah terdeteksi sangat berkaitan dengan adanya akuntabilitas birokrasi dan manajemen pemerintahan yang sedang malaksanakan revitalisasi yang memegang prinsip good governance guna mencapai reinventing government dan menata ulang manajemen pemrintahan indonesia kearah yang lebih sehat dan profesional. Reiventing government akan tercipta jika prinsip etika administrasi negara dan karakteristik good governance menjadi acuan dan refernsi pada implementasi manjemen pemerintahan di Indonesia.
2.2 Korupsi: Salah Satu Bentuk Mal-Administrasi
Dewasa ini para pejabat administrasi banyak yang terjerat dalam kasus-kasus yang bertentangan dengan etika seperti penyuapan, korupsi dan gratifikasi serta tindakan asusila lainnya. Korupsi dapat diartikan sebagai bentuk perbuatan menggunakan barang publik, bisa berupa uang dan jasa, untuk kepentingan memperkaya diri, dan bukan untuk kepentingan publik. Dilihat proses terjadinya perilaku korupsi ini dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk, yaitu Graft, Bribery, dan nepotism.
Graft, merupakan korupsi yang bersifat internal. Artinya korupsi yang dilakukan tanpa melihat pihak ketiga. Seperti menggunakan atau atau mengambil barang kantor, uang kantor, jabatan kantor untk kepentingan diri sendiri. Korupsi ini terjadi karena mereka mempunyai kedudukan dan jabatan di kantor tersebut. Dengan wewenangnya, para bawahan tidak dapat menolak permintaan atasannya. Menolak atau mencegah permintaan atasannya dianggap sebagai tindakan yang tidak loyal terhadap atasan. Bahkan sering terjadi, sebelum atasan minta, bawahan sudah menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh atasan. Misalnya ada seorang pejabat (di daerah) punya hajat mantu, maka segala sesuatu yang diperlukan untuk hajat tersebut telah dicukupi oleh anak buahnya, dan panitia yang dibentukpun sesuai dengan bidang kewenangan masing-masing anak buahnya. Pejabat tersebut sudah tahu “beres” segala sesuatu yang diperlukan untuk kepentingan hajat mantu tersebut. Contoh di atas, merupakan wujud dari tindakan korupsi berupa “grafrt”.
Sementara bribery (penyogokan, penyuapan), merupakan tindakan korupsi yang melibatkan orang lain diluar dirinya (instansinya). Karenanya korupsi ini sering disebut dengan korupsi yang bersifat eksternal. Artinya tindakan korupsi tadi tidak akan terjadi jika tidak ada orang lain, yang melakukan tindakan penyuapan, penyogokan terhadap dirinya. Tindakan pemberian sesuatu (penyogokan, penyuapan, pelicin), dimaksudkan agar dapat memengaruhi objektivitas dalam membuat keputusan, atau keputusan yang dibuat akan menguntungkan pemberi, penyuap, atau penyogok. Pemberian sesuatu (penyogok, penyuap, pelicin) dapat berupa uang, materi, tapi bisa juga berupa jasa. Korupsi semacam ini sering terjadi pada dinas/instansi yang mempunyai tugas pelayanan, menerbitkan surat izin, rekomendasi, dan lain sebagainya. Pelayanan yang diberikan seringkali dihambat, tidak lancar, bukan karena sistem dan prosedurnya, tapi karena disengaja oleh oknum birokrat. Sehingga mereka yang berkepentingan, lebih suka melalui calo, atau dengan cara memberi pelicin berupa uang untuk menyuap, menyogok, agar urusannya menjadi lancar.
Sedangkan nepotism, merupakan suatu tindakan korupsi berupa kecendrungan pengambilan keputusan yang tidak berdasarkan pada pertimbangan objektif, rasional, tapi didasarkan atas pertimbangan “nepitis”, “kekerabatan”, sepeti masih teman, keluarga, golongan, pejabat, dan lain sebagainya. Pertimbangan pengambilan keputusan tadi, sering kali untuk kepentingan orang yang membuat keputusan. Mereka akan lebih aman, orang yang berada disekitarnya (anak buahnya) adalah orang-orang yang masih nepotis atau masih kerabat dekat. Jika mereka melakukan tindakan penyimpangan mereka akan aman dan dilindungi.
Korupsi di atas adalah korupsi yang dilihat dari proses terjadinya. Namun dilihatnya dari sifatnya korupsi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu korusi individualis dan korupsi sistemik.
Korupsi individualis, merupakan penyimpangan yang dilakukan oleh salah satu atau beberapa orang dalam suatu organisasi dan berkembang suatu mekanisme muncul, hilang dan jika ketahuan pelaku korupsi akan terkena hukuman, bisa berupa dijauhi, dicela, disudutkan, dan bahkan diakhiri nasib kariernya. Perilaku korup ini dianggap oleh kelompok (masyarakat) sebagai tindakan yang menyimpang, buruk, dan tercela.
Korupsi sistemik, berbeda dengan korupsi individualisme. Korupsi sistemik merupakan suatu korupsi ketika yang melakukan korupsi adalah sebagian besar (kebanyakan orang) dalam suatu organisasi (melibatkan banyak orang). Dikatakan sistemik, karena tindakan korupsi ini bisa diterima sebagai sesuatu yang wajar/biasa (tidak menyimpang) oleh orang yang berada di sekitarnya dan merupakan bagian dari suatu realita. Jika ketahuan, maka diantara mereka yang terlibat saling melindungi, menutup-nutupi, dan mendukung satu sama lain untuk menyelamatkan orang yang ketahuan tadi. Hal ini disebabkan diantara mereka tidak ingin instansinya tercemar, sehingga walaupun mereka tahu ada tindakan korupsi mereka lebih baik “diam”, daripada mereka akan dikucilkan, dan menjadi saksi dalam perkara atas tindakan korupsi tadi. Bahkan mereka telah menganggap sesuatu yang wajar-wajar saja, karena memang yang bersangkutan berada atau menjabat pada jabatan yang memungkinkan atau yang biasa disebut dengan “jabatan basah”.
Korupsi berasal dari kata Latin corrumpere, corruptio atau corruptus yang berarti penyimpangan dari kesucian, tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran atau kecurangan. Sedangkan dalam kamus Bahasa Indonesia, korupsi berarti penyelewengan atau penggelapan (uang negara, perusahaan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Ada dua macam korupsi yaitu korupsi uang dan korupsi waktu (Kumorotomo : 2008).
Menurut KPK, suap adalah setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Pemerasan adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. Gratifikasi adalah hadiah yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara di luar gaji atau pendapatan resmi. Pemberian itu bisa berbentuk uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket, fasilitas wisata, fasilitas perjalanan dan fasilitas lainnya seperti kepuasan seksual.
Korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan (non-violence) dengan melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan penyembunyian suatu kenyataan (concealment). Korupsi merupakan tindakan yang merugikan negara, secara langsung maupun tidak langsung (Kumorotomo, 1999 :179).
Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas menjadi penyebab banyaknya penyelewengan. Orientasi birokrasi yang ke atas tampak dari kebiasaan sebagian besar pejabat untuk melapor kepada atasan dengan bertandang ke kediamannya, meminta petunjuk dan menganggap bahwa segala sesuatu yang direncanakan oleh pusat itu baik untuk diterapkan di tingkat lokal. Yang menjadi masalah dalam hal ini, jika semua pejabat hanya bertugas melapor pada eksekutif puncak, siapa yang akan mengawasi eksekutif puncak itu sendiri (Kumorotomo, 1999 : 207).

2.3 Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Mal-Administrasi
Salah satu hal yang menjadi penyebab merajalelanya korupsi ialah tidak adanya komponen-komponen yang berfungsi sebagai pengawas atau pengontrol, sehingga tidak ada proses  check and balance.
Mal-administrasi merupakan suatu tindakan yang menyimpang dari nilai etika. Secara “psiko-sosiologis”, suatu tindakan yang menyimpang dari nilai adalah disebabkan karena bertemunya faktor “niat atau kemauan” dan “kesempatan”. Jika ada niat untuk melakukan tindakan mal-administrasi, sementara kesempatan tidak ada, maka tindakan mal-administrasi tadi tidak akan terjadi. Sebaliknya, ada kesempatan untuk melakukan korupsi, namun pada dirinya tidak ada niat atau kemauan untuk melakukan mal-administrasi, maka tindakan mal-administrasi juga tidak akan terjadi.
Dengan mengacu pada konsep tadi, maka dapat ditemukan dua faktor yang menjadi penyebab timbulnya tindakan mal-administrasi. Pertama faktor internal yaitu faktor pribadi orang yang melakukan tindakan mal-administrasi. Kedua, faktor eksternal, yaitu faktor yang berada di luar diri pribadi orang yang melakukan tindakan mal-administrasi, bisa, lemahnya peraturan perundangan, lemahnya pelaksanaan pengawasan, dan lingkungan kerja yang memungkinkan terbukanya kesempatan untuk melakukan tindakan mal-administrasi.
Faktor Internal
Faktor Internal berupa kepribadian seseorang. Faktor kepribadian ini berwujud suatu niat, kemauan, dorongan yang tumbuh dari dalam diri seseorang untuk melakukan tindakan mal-administrasi. Faktor ini disebabkan oleh lemahnya mental seseorang, dangkalnya agama dan keimanan mereka, sehingga memudahkan mereka untuk melakukan sesuatu tindakan walaupun sesungguhnya mereka tahu bahwa tindakan yang akan mereka lakukan itu merupakan suatu tindakan yang tidak baik, tercela, buruk baik menurut nilai-nilai sosial, maupun menurut ajaran agama mereka. Namun karena rendahnya sikap mental mereka, dangkalnya keimanan dan keagamaan mereka, maka manakala ada kesempatan ada niatan untuk melakukan tindakan mal-administrasi dengan mudahnya mereka lakukan. Faktor Internal muncul banyak pula dipengaruhi oleh faktor eksternal, antara lain faktor kebutuhan keluarga, kesempatan, lingkungan kerja, dan lemahnya pengawasan, dan lain sebagainya. Jika pada diri orang tersebut mempunyai sikap mental yang tinggi, keimanan dan keagamaan mereka juga tinggi, maka walaupun ada tuntutan kebutuhan keluarga, kesempatan melakukan selalu ada, lingkungan kerja memungkinkan, dan pengawasan sangat lemah, maka mereka tidak akan melakukan tindakan mal-administrsi tadi. Karena mereka tahu dan yakin bahwa tindakan itu merupakan suatu tindakan yang buruk, tidak baik, tercela dan bahkan merupakan suatu tindakan yang berdosa.
Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar diri orang yang melakukan tindakan mal-administrasi, bisa berupa, lemahnya peraturan, lemahnya lembaga kontrol, lingkungan kerja dan lain sebagainya yang membuka peluang (kesempatan) untuk melakukan tindakan korupsi.
Peraturan perundangan dimana mereka bekerja, merupakan suatu tatanan nilai yang dibuat untuk diikuti dan dipatuhi oleh para pegawai dalam menjalankan tugas dan kewajiban yang diberikan kepadanya. Manakala peraturan tadi memberi kelonggaran bagi pegawainya untuk melakukan tindakan mal-administrasi, karena peraturannya tidak jelas, sanksi yang diberikan lemah, dan lain sebagainya, maka akan memberikan peluang ( kesempatan) pegawai untuk melakukan tindakan mal-administrasi tersebut. Misalnya, walaupun telah ada peraturan perundangan anti korupsi yaitu UU No.3 Tahun 1971 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No.11 Tahun 1980 tentang Pidana Suap, namun peraturan perundangan tersebut tidak efektif untuk mencegah tindakan korupsi. Dalam arti peraturan perundangan tadi masih belum banyak menjerat para pelaku korupsi. Hal ini disebabkan karena sulitnya untuk membuktikan tindakan korupsi, sehingga sulit untuk diproses sampai ke pengadilan. Belum lagi para pelaku korupsi yang telah menyiasati peraturan Perundang-undangan tadi dengan menggunakan pendekatan cost and benefit analysis ( analisis untung rugi ) dalam melakukan tindakan korupsi. Dalam arti antara hukuman yang diberikan dengan hasil korupsi yang dilakukan ternyata masih menguntungkan ( hasil korupsi lebih besar daripada tuntutan atau ganjaran hukuman). Bahkan ada mekanisme banding yang dapat menunda hukuman, bisa melakukan kasasi, grasi, yang bisa jadi prosesnya cukup lama, sehingga memberi peluang bagi pelaku korupsi untuk menyiasati hasil korupsinya.
Lemahnya lembaga pengawasan (control) dalam melaksanakan tugasnya juga merupakan salah satu penyebab munculnya tindakan mal-administrasi. Kendatipun lembaga pengawasan baik pengawasan politik,maupun pengawasan fungsional telah dibentuk, seperti DPR(D), BPK, BPKP, Irjen, Irwilprop, Irwilkab, Irwikod, dan bahkan waskat, serta wasmas telah dibentuk dan berjalan, namun para pelaku dari lembaga tersebut masih dengan mudah untuk diatur, masih mau disuap, disogok, dan sejenisnya, maka lembaga pengawasan ( control ) yang ada juga tidak akan mampu untuk melakukan pencegahan timbulnya tindakan mal-administrasi yang ada dalam tubuh birokrasi publik.
Lingkungan kerja, juga merupakan faktor penting untuk memberi peluang munculnya suatu tindakan mal-administrasi. Lingkungan dimana kita berada akan mempengaruhi sifat dan perilaku kita. Bila kita berada pada lingkungan keras, akan membentuk sifat dan perilaku kita juga cenderung keras. Demikian pula bila kita berada pada lingkungan agamis, juga akan membentuk sifat dan perilaku kita cenderung agamis kita. Lingkungan kerja dimana kita bekerja yang menilai bahwa suatu tindakan yang menyimpang ( korupsi misalnya) di anggap sesuatu yang wajar, maka akan membentuk dan memberi peluang perilaku yang menyimpang dari etika administrasi juga. Sebaliknya manakala lingkungan kerja cukup ketat, bahwa tindakan yang menyimpang (korupsi) dinilai sebagai suatu tindakan yang tidak baik,buruk, dan tercela juga maka juga akan membentuk sikap, perilaku untuk tidak korup dan tidak akan memberi peluang munculnya tindakan yang korup.
Efek birokratisasi juga merupakan salah satu sumber penyebab korupsi di kebanyakan negara berkembang. Teori Parkinson tentang birokrasi mengatakan bahwa di dalam setiap struktur formal terdapat kecenderungan bagi bertambahnya personil dalam satuan-satuan organisasi. Setiap kali mendapat tugas, biasanya para pejabat akan membentuk satuan-satuan baru atau merekrut orang-orang baru. Ini mengakibatkan membengkaknya birokrasi baik dari segi jumlah satuan maupun jumlah pegawainya (Kumorotomo, 1999 : 208).
Berdasarkan penelitian dari The World Bank Development Research Group Public Service Delivery (Juni, 2001) menyatakan bahwa meragukan mengenai gaji kecil aparatur negara merupakan alasan untuk melakukan korupsi. Hanya disebutkan di sana bahwa merubah struktur penggajian mungkin suatu bagian yang penting dalam reformasi birokrasi, tapi seharusnya jangan dilihat sebagai alat utama untuk melawan korupsi.
Berdasarkan tujuan yang mendorong orang melakukan korupsi, pada pokoknya korupsi dapat dibagi menjadi dua yakni korusi politis dan korupsi material. Korupsi politis merupakan penyelewengan kekuasaan yang lebih mengarah ke permainan-permainan politis yang kotor, nepotisme, klientelisme, penyalahgunaan pemungutan suara, dan sebagainya. Sedangkan korupsi material kebanyakan berbentuk manipulasi, penyuapan, penggelapan, dan sebagainya. Arnold A. Rogow dan Harold D. Lasswel menyebut para pejabat yang melakukan korupsi politis sebagai  game politician atau politisi permainan, sedangkan pejabat yang melakukan korupsi material sebagai gain politician atau politisi pendapatan (Rogow & Lasswel : 1963).
Survei yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap 105 unit layanan di 40 departemen/instansi tingkat pusat serta 52 kabupaten/kota di 20 provinsi menunjukkan rendahnya kualitas layanan publik di Indonesia.






Integritas Birokrasi Pelayan Publik

No
Bentuk Integritas Rendah
Responden
Prosentase

1
Korupsi
3277
33%

2
Diskriminatif dalam pelayanan
3575
36%

3
Pelayanan dipersulit bila tidak memberi imbalan kepada petugas / biaya tambahan
3078
31%

Jumlah
9.930
100%

Sumber : Survei KPK terhadap kualitas layanan publik, 2008

Dari hasil survei tersebut terlihat bahwa diskriminatif dalam pemberian layanan publik menempati urutan teratas indikator rendahnya integritas birokrasi dalam pelayanan publik. Artinya, penyelenggaraan pelayanan masih amat dipengaruhi hubungan perkoncoan, kesamaan afiliasi politik, etnis, dan agama. Fenomena semacam ini tetap marak walaupun telah diberlakukan UU No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN yang secara tegas menyatakan keharusan adanya kesamaan pelayanan, bukannya diskriminasi.

Riset yang dilakukan oleh Institute for Civil Society (INCIS) pada masyarakat pengguna jasa layanan publik di wilayah DKI mempertegas adanya diskriminasi dalam praktek layanan publik. Survei ini sebenarnya bisa digunakan sebagai  efek shamming bagi birokrasi yang diharapkan akan bisa memacu birokrasi mengubah pencitraan diri menjadi lebih baik.










Pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah juga sering kali bermasalah, baik dari segi kualitas barang yang tidak sesuai maupun adanya unsur Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) antara pejabat pemerintah dengan para penyedia barang atau jasa. Upaya untuk memberantas praktek-praktek KKN dalam proses pengadaan barang dan jasa berkembang semakin kuat dengan semakin tumbuhnya kesadaran dan kebutuhan masyarakat dan pemerintah untuk meningkatkan partisipasi dan peran serta masyarakat, terutama dalam bentuk pengawasan terhadap proses pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Selama ini, kurangnya pengawasan oleh masyarakat pada proses pengadaan barang dan jasa, antara lain disebabkan oleh minimnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah. Di samping itu, tidak tersedianya mekanisme pengawasan dan mekanisme untuk menyampaikan pengaduan atas dugaan penyimpangan pada suatu proses pengadaan barang dan jasa semakin memperkecil keinginan, peran dan partisipasi masyarakat untuk melakukan fungsi pengawasan.
Pemberantasan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintah semakin diperkuat dan dipertegas oleh pemerintah melalui peraturan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.  Inpres tersebut mengamanatkan bahwa proses pengadaan barang dan jasa pemerintah harus dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan ketentuan dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 sehingga berbagai peluang kebocoran dan kemungkinan terjadinya pemborosan keuangan negara, baik yang berasal dari APBN maupun APBD dapat dicegah.



Solusi Pencegahan Korupsi dalam Birokrasi
Solusi yang dapat digunakan untuk mencegah korupsi antara lain :
1)    Cara Sistemik-Struktural
Mendayagunakan segenap suprastruktur politik maupun infrastruktur politik dan pada saat yang sama membenahi birokrasi sehingga lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan-tindakan korup dapat ditutup. Suprastruktur politik adalah keseluruhan lembaga penyelenggara negara yang mempunyai kewenangan hukum konstitusional yang bersumber dari UUD 1945 seperti MPR, Presiden, DPR, DPA, BPK, MA dan pemerintah daerah beserta seluruh jajarannya. Sedangkan infrasruktur politik adalah organisasi-organisasi kekuatan sosial politik dan kemasyarakatan yang tidak mempunyai kewenangan hukum konstitusional tetapi dapat berperan sebagai kelompok penekan.

2)    Cara Abolisionistik
Korupsi adalah suatu kejahatan yang harus diberantas dengan terlebih dahulu menggali sebab-sebabnya dan kemudian penanggulangan diarahkan pada usaha-usaha menghilangkan sebab-sebab tersebut. Jalan yang ditempuh adalah dengan mengkaji permasalahan-permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat, mempelajari dorongan-dorongan individual yang mengarah ke tindakan-tindakan korupsi, meningkatkan kesadaran hukum masyarakat serta menindak orang-orang yang korup berdasarkan kodifikasi hukum yang berlaku. Pemerintah harus berani melakukan pembersihan di dalam tubuh pemerintahan yaitu pembersihan terhadap aparatur-aparatur yang tidak jujur.
3)    Cara Moralistik
Faktor penting dalam persoalan korupsi adalah faktor sikap dan mental manusia. Oleh karena itu usaha penanggulangannya harus pula terarah pada faktor moral manusia  sebagai pengawas aktivitas-aktivitas tersebut. Cara moralistik dapat dilakukan melalui pembinaan mental dan moral manusia, khotbah-khotbah, ceramah atau penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum serta memasukkan etika dan moral dalam kurikulum pendidikan di sekolah formal dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi (Kumorotomo, 1999 : 218).

 

Kesimpulan
Dewasa ini di Indonesia banyak kasus yang berhubungan dengan etika dan moralitas. Kasus-kasus seperti korupsi, penyuapan, penggelapan, gratifikasi dan mafia kasus dalam peradilan serta mafia pajak yang terjadi belakangan ini tentunya sangat bertentangan dengan etika dan moralitas. Etika birokrasi adalah suatu kebiasaan yang baik dalam birokrasi, yang kemudian mengendap menjadi norma-norma atau kaidah atau dengan kata lain yang menjadi normatif dalam perikehidupan manusia dan penyelenggaraan administrasi negara. Kode etik dapat dijadikan sebagai pedoman bertindak bagi segenap aparat publik. Salah satu sumber formal kode etik yang berlaku bagi setiap pegawai atau pejabat pemerintah adalah ketentuan mengenai Sapta Prasetya KORPRI dan isi yang termuat dalam Sumpah Jabatan.
Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang negara, perusahaan, dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Bentuk dari korupsi dalam birokrasi dapat berupa suap, pemerasan, gratifikasi, penggelapan, nepotisme, komisi, benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, perbuatan curang, dan sebagainya.
Solusi yang dapat digunakan untuk mencegah korupsi antara lain :
1)    Cara Sistemik-Struktural
2)    Cara Abolisionistik
3)    Cara Moralistik

Saran
Etika dalam birokrasi pemerintahan merupakan hal yang sangat penting untuk keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan dan untuk menjaga citra birokrasi agar birokrasi pemerintahan terus mendapat kepercayaan dari masyarakat. Pejabat pemerintah dalam menjalankan pekerjaannya seharusnya sesuai dengan etika jabatannya masing-masing dan mempunyai kewajiban serta tanggung jawab moral kepada masyarakat.
Hal yang perlu dilakukan untuk memberantas korupsi antara lain adanya komponen-komponen yang berfungsi sebagai pengawas atau pengontrol, sehingga ada proses  check and balance. Masyarakat seharusnya ikut berpartisipasi dalam upaya pemberantasan korupsi. Kemudian perlu adanya perampingan birokrasi agar birokrasi lebih efektif dan efisien serta untuk mencegah bertambahnya pegawai yang melakukan korupsi.
Dalam perumusan kebijakan, pejabat administrasi negara perlu untuk lebih memperhatikan kepentingan umum (public interest). Pemerintah seharusnya terus melakukan reformasi birokrasi dengan menerapkan tata pemerintahan yang baik (good governance) dalam penyelenggaraan pemerintahan agar birokrasi pemerintahan di Indonesia lebih akuntabel, transparan, responsive, efektif dan efisien.











Daftar Pustaka
Joeniarto. 1984. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara. Bina Aksara : Jakarta.
Kencana, Inu, dkk. 1999. Ilmu Administrasi Publik. Rineka Cipta : Jakarta.
Kumorotomo, Wahyudi. 2008. Etika Administrasi Negara. PT Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Simorangkir, OP. 1978. Etika Jabatan. Aksara Persada Indonesia : Jakarta.
Suyamto. 1989. Norma dan Etika Pengawasan. Sinar Grafika : Jakarta.

1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus