oleh kak dollar monica seles
Bp.0910842034
Pendahuluan
Dewasa ini di Indonesia banyak kasus yang
berhubungan dengan etika dan moralitas. Kasus-kasus seperti korupsi, penyuapan,
penggelapan, gratifikasi dan mafia kasus dalam peradilan serta mafia pajak yang
terjadi belakangan ini tentunya sangat bertentangan dengan etika dan moralitas.
Kasus-kasus yang berhubungan dengan etika dalam
birokrasi pemerintahan seperti yang telah disebutkan di atas melibatkan
beberapa profesi yang melakukan pelanggaran terhadap etika seperti pejabat
administrasi negara, anggota legislatif, jaksa, hakim, kepolisian, pegawai
perpajakan, dan lain sebagainya.
Pihak-pihak yang terlibat dalam kasus-kasus yang
terjadi di dalam konteks etika berasal dari seluruh elemen pemerintahan baik
eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Padahal pejabat pemerintah baik
eksekutif, legislatif maupun yudikatif harus mematuhi etika jabatannya
masing-masing. Etika dalam birokrasi pemerintahan merupakan hal yang sangat penting
untuk keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan dan untuk menjaga citra
birokrasi agar birokrasi pemerintahan terus mendapat kepercayaan dari
masyarakat.
I.
Etika Birokrasi
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos,
yang artinya kebiasaan atau watak, sedangkan moral berasal dari bahasa Latin
yaitu mos yang artinya cara hidup atau kebiasaan. Dari istilah ini
muncul pula istilah moril dan norma, moril bisa berarti semangat atau dorongan
batin, sedangkan norma dalam bahasa Inggris berarti aturan atau kaidah. Etika
cenderung dipandang sebagai suatu cabang ilmu dalam filsafat yang mempelajari
nilai-nilai baik dan buruk bagi manusia (Kumorotomo : 2008).
Etika adalah kebiasaan yang baik dalam
masyarakat, yang kemudian mengendap menjadi norma-norma atau kaidah atau dengan
kata lain yang menjadi normatif dalam perikehidupan manusia ( Simorangkir :
1978 ).
Menurut Weber, birokrasi adalah metode
organisasi terbaik dengan spesialisasi tugas. Walaupun kemudian banyak pakar
yang mengkritik Weber, seperti Warren Bennis yang menyampaikan perlunya
kebijaksanaan memperhatikan keberadaan manusia itu sendiri. Birokrasi tetap
akan diperlukan di kantor-kantor pemerintah, terutama di negara-negara
berkembang yang harus dipacu dengan kedisiplinan.
Selama ini banyak pakar yang menulis dan
meneliti tentang birokrasi yaitu bahwa fungsi dari staf pegawai administrasi
memiliki cara-cara yang spesifik agar lebih efektif dan efisien, yaitu :
a.
Kerja
yang ketat pada peraturan (rule)
b.
Tugas
yang khusus (spesialisasi)
c.
Kaku
dan sederhana (zakelijk)
d.
Penyelenggaraan
yang resmi (formal)
e.
Pengaturan
dari atas ke bawah (hirarki)
f.
Berdasarkan
logika (rasional)
g.
Tersentralistis
(otoritas)
h.
Taat
dan patuh (obedience)
i.
Disiplin
(dicipline)
j.
Tersruktur
(sistematis)
k.
Tanpa
pandang bulu (impersonal).
Inilah prinsip dasar dan karakteristik yang
ideal dari birokrasi yang pertama kali ditulis Max Weber (Max Weber : 1946).
Namun prinsip ideal yang dikemukakan Weber tidak memperhatikan aspek manusia
itu sendiri dalam birokrasi. Padahal efektivitas dan efisiensi birokrasi sangat
dipengaruhi oleh etika dan moralitas dari pegawainya.
II.
Karakteristik Good Governance dalam Menata Ulang
Manajemen Pemerintahan
OECD dan World Bank mensinonimkan good
governance dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan
bertanggung jawab, sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien,
penghindaran salah alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan korupsi,
baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta
penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas
kewiraswastaan. Sedangkan UNDP mendefinisikan good governance sebagai
hubungan yang sinergis dan konstruktif diantara negara, sektor swasta dan masyarakat
(society). Berdasarkan definisi tersebut UNDP kemudian mengajukan
karakteristik good governance yang saling memperkuat dan tidak dapat
berdiri sendiri, sebagai berikut :
1. Participation.
Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara
langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili
kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan
berassosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2. Rule of law. Kerangka hukum
harus adil dan dilaksanakan tanpa perbedaan, terutama hukum hak asasi manusia.
3. Transparency. Transparansi
dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses lembaga dan informasi
secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus
dapat dipahami dan dapat dipantau.
4. Responsiveness. Lembaga dan
proses harus mencoba untuk melayani stakeholders.
5. Consensus
Orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang
berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik
dalam hal kebijakan maupun prosedur.
6. Effectiveness
and efficiency. Proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang
telah digariskan dengan menggunakan sumber yang tersedia sebaik mungkin.
7. Accountability. Para pembuat keputusan
dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung
jawab kepada publik dan lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini
tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan
tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
8. Strategic
vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan
pengembangan manusia yang luas serta jauh ke depan sejalan dengan apa yang
diperlukan untuk pembangunan semacam ini.
Atas dasar uraian tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa wujud good governance adalah penyelenggaraan
pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan
efektif, dengan menjaga kesinergisan ineraksi yang konstruktif diantara ketiga
domain; negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Oleh karena good
governance meliputi sistem administrasi negara, maka upaya mewujudkan good
governance juga merupakan upaya melakukan penyempurnaan pada sistem
administrasi negara yang berlaku pada suatu negara secara menyeluruh.
Jika dilihat dari ketiga domain dalam governance,
tampaknya domain state menjadi domain yang paling memegang peranan
penting dalam mewujudkan good governance, karena fungsi pengaturan yang
memfasilitasi domain sektor dunia usaha swasta dan masyarakat (society)
serta fungsi administratif penyelenggaraan pemerintahan melekat pada domain
ini. peran pemerintah melalui kebijakan publiknya sangat penting dalam
memfasilitasi berjalannya mekanisme pasar yang benar sehingga penyimpangan yang
terjadi di dalam pasar dapat dihindari. Oleh karena itu, upaya perwujudan ke
arah good governance dapat dimulai dengan membangun landasan
demokratisasi penyelenggaraan negara dan dilakukan upaya pembenahan
penyelenggara pemerintahan sehingga dapat terwujud good governance.
Etika jabatan atau etika
birokrasi adalah etika yang berkaitan dengan tugas-tugas yang dilakukan
seseorang yang ditunjukkan oleh kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab tertentu
yang membutuhkan waktu dan perhatian penuh yang dilakukan oleh pemegang jabatan
tersebut ( Simorangkir : 1978 ).
Dengan demikian etika birokrasi adalah suatu
kebiasaan yang baik dalam birokrasi, yang kemudian mengendap menjadi
norma-norma atau kaidah atau dengan kata lain yang menjadi normatif dalam
perikehidupan manusia dan penyelenggaraan administrasi negara.
Kedudukan etika administrasi negara berada di
antara etika profesi dan etika politik, sehingga tugas-tugas administrasi
negara tetap memerlukan perumusan kode etik yang dapat dijadikan sebagai
pedoman bertindak bagi segenap aparat publik. Kode etik dirumuskan dengan
asumsi bahwa tanpa sanksi-sanksi atau hukuman dari pihak luar, setiap orang
tetap menaatinya. Kode etik merupakan persetujuan bersama, yang timbul dari
diri para anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka,
sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan (Simorangkir : 1978).
Kode etik adalah suatu alat untuk menunjang
pencapaian tujuan suatu organisasi atau sub-organisasi atau bahkan
kelompok-kelompok yang belum terikat dalam suatu organisasi. Pada dasarnya kode
etik adalah suatu hukum etik. Hukum etik itu biasanya dibuat oleh suatu
organisasi atau suatu kelompok, sebagai suatu patokan tentang sikap mental yang
wajib dipatuhi oleh para anggotanya dalam menjalankan tugasnya (Suyamto :
1989).
Salah satu sumber formal kode etik yang berlaku
bagi setiap pegawai atau pejabat pemerintah adalah ketentuan mengenai Sapta
Prasetya KORPRI. Ungkapan-ungkapan yang mengandung nilai-nilai etis tetapi
terasa abstrak juga terdapat dalam sumpah jabatan pegawai negeri yang harus
diucapkan pada saat mereka dilantik (Kumorotomo : 1999).
Pejabat pemerintah dalam menjalankan
pekerjaannya seharusnya sesuai dengan etika jabatannya masing-masing dan
mempunyai kewajiban serta tanggung jawab moral kepada masyarakat. Namun pada
kenyataannya, para birokrat dalam menjalankan pekerjaannya tidak sesuai dengan
aturan dan kode etik yang berlaku. Beberapa gambaran tentang
birokrasi pemerintahan di Indonesia yang berhubungan dengan konteks etika
antara lain :
a.
Segala
bentuk korupsi baik penyuapan, penggelapan, penyelewengan, kolusi, nepotisme
dan gratifikasi sudah menjadi budaya dalam birokrasi pemerintahan di negara
kita. Pejabat administrasi negara dalam menyelenggarakan pemerintahan dan
pelayanan publik tidak terlepas dari praktek-praktek korupsi dan budaya amplop.
Saat ini masih banyak ditemui pelayanan yang berbelit-belit dalam birokrasi
sehingga memungkinkan untuk pemberian uang pelicin kepada pejabat administrasi
negara untuk memperlancar kegiatan administrasi.
b.
Banyaknya
kasus penyuapan dan gratifikasi yang dilakukan oleh pejabat administrasi negara
kepada anggota DPR untuk melancarkan urusan administrasinya seperti meminta
pemberian ijin dan pengalihan pengurusan pengelolaan sumber daya alam tertentu
kepada daerah. Contoh kasusnya yaitu adanya kasus penyuapan dan gratifikasi
yang dilakukan oleh Sekertaris Daerah Bintan kepada Komisi IV DPR dalam
pengalihan fungsi hutan lindung di Bintan.
c.
Masih
banyaknya penyelewengan dan penggelapan dalam penggunaan dana baik dana APBN
dari pusat, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dana APBD, maupun Alokasi
Dana Desa. Biasanya harga-harga maupun jumlah item barang yang tercantum dalam
laporan keuangannya dibuat fiktif dan tidak sesuai fakta di lapangan.
d.
Adanya
indikasi pemerasan, komisi, dan nepotisme yang dilakukan oleh pejabat
administrasi negara dalam sistem lelang atau tender yang diadakan pemerintah
dalam pengadaan barang dan jasa.
e.
Adanya
mafia kasus dalam peradilan yang melibatkan aparat penegak hukum seperti
kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Contoh kasus yang terjadi antara lain
kasus penyuapan Jaksa Urip oleh Artalyta Suryani untuk penanganan kasus Anggodo
Widjojo. Kemudian kasus penyuapan Kabareskrim Komjen Susno Duadji serta adanya
kasus penyuapan dan pemerasan anggota KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra
Hamzah.
f.
Belakangan
ini marak diperbincangkan di media massa maupun elektronik adanya kasus mafia
pajak yang dilakukan oleh Gayus Tambunan, salah satu dari pegawai perpajakan
yang memiliki harta milyaran dari hasil penyuapan beberapa wajib pajak dalam
pengurusan dan penghapusan tanggungan pajak beberapa wajib pajak tertentu.
Kasus terbaru adalah Gayus Tambunan berhasil menyuap pihak kepolisian dan
kejaksaan senilai jutaan rupiah dengan tujuan agar beberapa waktu dapat keluar
dari tahanan dan dapat mengunjungi berbagai tempat yang diinginkan. Gayus
tertangkap kamera wartawan sedang melihat pertandingan tennis di Bali. Hal ini
memperlihatkan betapa mudahnya aparat penegak hukum disuap oleh para tersangka
dan terpidana.
Dari gambaran di atas,
dapat kita ketahui bagaimana buruknya wajah para birokrat Indonesia baik
pejabat administrasi negara, kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan sebagainya
yang sarat akan praktek korupsi dalam bentuk penyuapan, pemberian gratifikasi,
penggelapan, penyelewengan dana APBN, pemerasan, komisi, dan nepotisme dalam
pelaksanaan tender dan sebagainya.
Asas-asas umum birokrasi pemerintahan yang
baik :
a.
Prinsip
Demokrasi
Pilar utama prinsip demokrasi adalah asas
kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat mensyaratkan bahwa rakyatlah yang
mempunyai kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan negara, rakyat yang menentukan
kehendak negara dan rakyat yang akan menentukan pula bagaimana berbuatnya
(Joeniarto, 1984 :17).
Maka dalam sistem pemerintahan yang memakai
asas kedaulatan rakyat, kepentingan rakyat menempati kedudukan yang paling
tinggi. Setiap anggota dewan perwakilan, kepala negara, menteri dan segenap
aparatur negara diwajibkan bertindak sesuai dengan kehendak rakyat dalam arti
yang luas.
b.
Keadilan
Sosial dan Pemerataan
Salah satu asas umum pemerintahan dan
administrasi pembangunan yang perlu mendapat perhatian lebih besar sekarang ini
adalah yang menyangkut keadilan (equity) dan pemerataan (even
distribution / fair distribution). Kedua konsep ini juga merupakan landasan
pokok bagi etika pembangunan dan merupakan ukuran moralitas bagi kebijakan
publik.
c.
Mengusahakan
Kesejahteraan Umum
Salah satu prasyarat legitimasi kekuasaan
negara ialah apabila negara, melalui aktivitas-aktivitas pemerintahan dapat
mengusahakan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat (Kumorotomo, 1999 : 275).
Kemudian di dalam Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 memuat sendi-sendi pelayanan
yang harus dicakup birokrasi dalam pemberian pelayanan publik di Indonesia,
antara lain kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan, keterbukaan,
efisien, ekonomis, keadilan yang merata, serta ketepatan waktu.
Dengan aturan yang baku tersebut secara ideal
pola pelayanan di Indonesia telah mendapatkan bentuk yang dapat
dipertanggungjawabkan (accountable). Dengan demikian, sebenarnya tidak
ada alasan bagi para pelaksana pelayanan publik untuk memposisikan mereka
sebagai superior terhadap pengguna jasa layanan.
2. 1. Mal-Administrasi
Dalam era
reformasi, banyak “mal pratik” pada tubuh birokrasi yang selama era orde baru
terjadi diblejeti satu persatu oleh masyarakat, baik mal-praktek dalam bentuk
“korupsi, kolusi, maupun nepotisme” .KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme)
merupakan tindakan yang menyimpang hukum dan biasanya pada kasus-kasus ini
terdapat banyak penyimpangan serta penyelewengan pada law enforcement, hal ini
sangat besar kemungkinan pada etika adaministrasi negara dalam revitalisasi
manajemen pemerintahan dalam rangka upaya penataan ulang pemerintahan Indonesia
yang tidak sesuai dengan good governance. Pada kenyataan nya Law enforcement
dalam manajemen pemerintahan di Indonesia sangat diabaikan sehingga akan sangat
menjadi ancaman bagi manajemen pemerintahan dalam upaya menata ulang manajemen
pemerintahan yang sehat dan dapat meminimalisir terjadinya birokatologi dan mal
administrasi.Sebenarnya apakah yang menjadi landasan dasar yang dapat menjadi
aacuan, pedoman, dan referensi dalam melaksanakan manajemen pemerintahan yang
baik dan sehat serta birokrasi yang sehat adalah etika administrasi yang
memiliki acuan dan pedoman serta referensi, salah satu wujud konkrit yang tegas
dalam menindaklanjuti mal administrasi seprti contoh yang sangat sering terjadi
Korupsi, melalui Law enforcement maka semua penyelewengan akan mudah
diminimalisir, Law enforcement akan mudah terdeteksi sangat berkaitan dengan
adanya akuntabilitas birokrasi dan manajemen pemerintahan yang sedang
malaksanakan revitalisasi yang memegang prinsip good governance guna mencapai
reinventing government dan menata ulang manajemen pemrintahan indonesia kearah
yang lebih sehat dan profesional. Reiventing government akan tercipta jika
prinsip etika administrasi negara dan karakteristik good governance menjadi
acuan dan refernsi pada implementasi manjemen pemerintahan di Indonesia.
2.2 Korupsi: Salah
Satu Bentuk Mal-Administrasi
Dewasa
ini para pejabat administrasi banyak yang terjerat dalam kasus-kasus yang
bertentangan dengan etika seperti penyuapan, korupsi dan gratifikasi serta
tindakan asusila lainnya. Korupsi dapat
diartikan sebagai bentuk perbuatan menggunakan barang publik, bisa berupa uang
dan jasa, untuk kepentingan memperkaya diri, dan bukan untuk kepentingan
publik. Dilihat proses terjadinya perilaku korupsi ini dapat dibedakan ke dalam
tiga bentuk, yaitu Graft, Bribery, dan nepotism.
Graft, merupakan
korupsi yang bersifat internal. Artinya korupsi yang dilakukan tanpa
melihat pihak ketiga. Seperti menggunakan atau atau mengambil barang kantor,
uang kantor, jabatan kantor untk kepentingan diri sendiri. Korupsi ini terjadi
karena mereka mempunyai kedudukan dan jabatan di kantor tersebut. Dengan
wewenangnya, para bawahan tidak dapat menolak permintaan atasannya. Menolak
atau mencegah permintaan atasannya dianggap sebagai tindakan yang tidak loyal
terhadap atasan. Bahkan sering terjadi, sebelum atasan minta, bawahan sudah
menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh atasan. Misalnya ada seorang
pejabat (di daerah) punya hajat mantu, maka segala sesuatu yang diperlukan
untuk hajat tersebut telah dicukupi oleh anak buahnya, dan panitia yang
dibentukpun sesuai dengan bidang kewenangan masing-masing anak buahnya. Pejabat
tersebut sudah tahu “beres” segala sesuatu yang diperlukan untuk kepentingan
hajat mantu tersebut. Contoh di atas, merupakan wujud dari tindakan korupsi
berupa “grafrt”.
Sementara bribery (penyogokan,
penyuapan), merupakan tindakan korupsi yang melibatkan orang lain diluar
dirinya (instansinya). Karenanya korupsi ini sering disebut dengan korupsi yang
bersifat eksternal. Artinya tindakan korupsi tadi tidak akan terjadi
jika tidak ada orang lain, yang melakukan tindakan penyuapan, penyogokan
terhadap dirinya. Tindakan pemberian sesuatu (penyogokan, penyuapan, pelicin),
dimaksudkan agar dapat memengaruhi objektivitas dalam membuat keputusan, atau
keputusan yang dibuat akan menguntungkan pemberi, penyuap, atau penyogok.
Pemberian sesuatu (penyogok, penyuap, pelicin) dapat berupa uang, materi, tapi
bisa juga berupa jasa. Korupsi semacam ini sering terjadi pada dinas/instansi
yang mempunyai tugas pelayanan, menerbitkan surat izin, rekomendasi, dan lain
sebagainya. Pelayanan yang diberikan seringkali dihambat, tidak lancar, bukan
karena sistem dan prosedurnya, tapi karena disengaja oleh oknum birokrat.
Sehingga mereka yang berkepentingan, lebih suka melalui calo, atau dengan cara
memberi pelicin berupa uang untuk menyuap, menyogok, agar urusannya menjadi
lancar.
Sedangkan nepotism, merupakan
suatu tindakan korupsi berupa kecendrungan pengambilan keputusan yang tidak
berdasarkan pada pertimbangan objektif, rasional, tapi didasarkan atas
pertimbangan “nepitis”, “kekerabatan”, sepeti masih teman, keluarga, golongan,
pejabat, dan lain sebagainya. Pertimbangan pengambilan keputusan tadi, sering
kali untuk kepentingan orang yang membuat keputusan. Mereka akan lebih aman,
orang yang berada disekitarnya (anak buahnya) adalah orang-orang yang masih
nepotis atau masih kerabat dekat. Jika mereka melakukan tindakan penyimpangan
mereka akan aman dan dilindungi.
Korupsi di atas adalah korupsi yang
dilihat dari proses terjadinya. Namun dilihatnya dari sifatnya korupsi dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu korusi individualis dan korupsi sistemik.
Korupsi individualis, merupakan
penyimpangan yang dilakukan oleh salah satu atau beberapa orang dalam suatu
organisasi dan berkembang suatu mekanisme muncul, hilang dan jika ketahuan
pelaku korupsi akan terkena hukuman, bisa berupa dijauhi, dicela, disudutkan,
dan bahkan diakhiri nasib kariernya. Perilaku korup ini dianggap oleh kelompok
(masyarakat) sebagai tindakan yang menyimpang, buruk, dan tercela.
Korupsi sistemik, berbeda dengan
korupsi individualisme. Korupsi sistemik merupakan suatu korupsi ketika yang
melakukan korupsi adalah sebagian besar (kebanyakan orang) dalam suatu
organisasi (melibatkan banyak orang). Dikatakan sistemik, karena tindakan
korupsi ini bisa diterima sebagai sesuatu yang wajar/biasa (tidak menyimpang)
oleh orang yang berada di sekitarnya dan merupakan bagian dari suatu realita.
Jika ketahuan, maka diantara mereka yang terlibat saling melindungi,
menutup-nutupi, dan mendukung satu sama lain untuk menyelamatkan orang yang
ketahuan tadi. Hal ini disebabkan diantara mereka tidak ingin instansinya
tercemar, sehingga walaupun mereka tahu ada tindakan korupsi mereka lebih baik
“diam”, daripada mereka akan dikucilkan, dan menjadi saksi dalam perkara atas
tindakan korupsi tadi. Bahkan mereka telah menganggap sesuatu yang wajar-wajar
saja, karena memang yang bersangkutan berada atau menjabat pada jabatan yang
memungkinkan atau yang biasa disebut dengan “jabatan basah”.
Korupsi berasal dari kata
Latin corrumpere, corruptio atau corruptus yang berarti
penyimpangan dari kesucian, tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan,
kerusakan, ketidakjujuran atau kecurangan. Sedangkan dalam kamus Bahasa
Indonesia, korupsi berarti penyelewengan atau penggelapan (uang negara,
perusahaan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Ada dua
macam korupsi yaitu korupsi uang dan korupsi waktu (Kumorotomo : 2008).
Menurut KPK, suap adalah
setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya berbuat sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya. Pemerasan adalah pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa
seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. Gratifikasi
adalah hadiah yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara di
luar gaji atau pendapatan resmi. Pemberian itu bisa berbentuk uang, barang,
diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket, fasilitas wisata, fasilitas
perjalanan dan fasilitas lainnya seperti kepuasan seksual.
Korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan
yang tidak mengandung kekerasan (non-violence) dengan melibatkan
unsur-unsur tipu muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan
penyembunyian suatu kenyataan (concealment). Korupsi merupakan tindakan
yang merugikan negara, secara langsung maupun tidak langsung (Kumorotomo, 1999
:179).
Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas
menjadi penyebab banyaknya penyelewengan. Orientasi birokrasi yang ke atas
tampak dari kebiasaan sebagian besar pejabat untuk melapor kepada atasan dengan
bertandang ke kediamannya, meminta petunjuk dan menganggap bahwa segala sesuatu
yang direncanakan oleh pusat itu baik untuk diterapkan di tingkat lokal. Yang
menjadi masalah dalam hal ini, jika semua pejabat hanya bertugas melapor pada
eksekutif puncak, siapa yang akan mengawasi eksekutif puncak itu sendiri
(Kumorotomo, 1999 : 207).
2.3
Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Mal-Administrasi
Salah satu hal yang menjadi penyebab
merajalelanya korupsi ialah tidak adanya komponen-komponen yang berfungsi
sebagai pengawas atau pengontrol, sehingga tidak ada proses check and
balance.
Mal-administrasi merupakan suatu
tindakan yang menyimpang dari nilai etika. Secara “psiko-sosiologis”, suatu
tindakan yang menyimpang dari nilai adalah disebabkan karena bertemunya faktor
“niat atau kemauan” dan “kesempatan”. Jika ada niat untuk melakukan tindakan
mal-administrasi, sementara kesempatan tidak ada, maka tindakan
mal-administrasi tadi tidak akan terjadi. Sebaliknya, ada kesempatan untuk
melakukan korupsi, namun pada dirinya tidak ada niat atau kemauan untuk
melakukan mal-administrasi, maka tindakan mal-administrasi juga tidak akan
terjadi.
Dengan mengacu pada konsep tadi, maka
dapat ditemukan dua faktor yang menjadi penyebab timbulnya tindakan
mal-administrasi. Pertama faktor internal yaitu faktor pribadi orang yang
melakukan tindakan mal-administrasi. Kedua, faktor eksternal, yaitu faktor yang
berada di luar diri pribadi orang yang melakukan tindakan mal-administrasi,
bisa, lemahnya peraturan perundangan, lemahnya pelaksanaan pengawasan, dan
lingkungan kerja yang memungkinkan terbukanya kesempatan untuk melakukan
tindakan mal-administrasi.
Faktor Internal
Faktor Internal berupa kepribadian
seseorang. Faktor kepribadian ini berwujud suatu niat, kemauan, dorongan yang
tumbuh dari dalam diri seseorang untuk melakukan tindakan mal-administrasi.
Faktor ini disebabkan oleh lemahnya mental seseorang, dangkalnya agama dan
keimanan mereka, sehingga memudahkan mereka untuk melakukan sesuatu tindakan
walaupun sesungguhnya mereka tahu bahwa tindakan yang akan mereka lakukan itu
merupakan suatu tindakan yang tidak baik, tercela, buruk baik menurut
nilai-nilai sosial, maupun menurut ajaran agama mereka. Namun karena rendahnya
sikap mental mereka, dangkalnya keimanan dan keagamaan mereka, maka manakala
ada kesempatan ada niatan untuk melakukan tindakan mal-administrasi dengan
mudahnya mereka lakukan. Faktor Internal muncul banyak pula dipengaruhi oleh
faktor eksternal, antara lain faktor kebutuhan keluarga, kesempatan, lingkungan
kerja, dan lemahnya pengawasan, dan lain sebagainya. Jika pada diri orang
tersebut mempunyai sikap mental yang tinggi, keimanan dan keagamaan mereka juga
tinggi, maka walaupun ada tuntutan kebutuhan keluarga, kesempatan melakukan
selalu ada, lingkungan kerja memungkinkan, dan pengawasan sangat lemah, maka
mereka tidak akan melakukan tindakan mal-administrsi tadi. Karena mereka tahu
dan yakin bahwa tindakan itu merupakan suatu tindakan yang buruk, tidak baik,
tercela dan bahkan merupakan suatu tindakan yang berdosa.
Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang
berada di luar diri orang yang melakukan tindakan mal-administrasi, bisa
berupa, lemahnya peraturan, lemahnya lembaga kontrol, lingkungan kerja dan lain
sebagainya yang membuka peluang (kesempatan) untuk melakukan tindakan korupsi.
Peraturan perundangan dimana mereka
bekerja, merupakan suatu tatanan nilai yang dibuat untuk diikuti dan dipatuhi
oleh para pegawai dalam menjalankan tugas dan kewajiban yang diberikan
kepadanya. Manakala peraturan tadi memberi kelonggaran bagi pegawainya untuk
melakukan tindakan mal-administrasi, karena peraturannya tidak jelas, sanksi
yang diberikan lemah, dan lain sebagainya, maka akan memberikan peluang (
kesempatan) pegawai untuk melakukan tindakan mal-administrasi tersebut.
Misalnya, walaupun telah ada peraturan perundangan anti korupsi yaitu UU No.3
Tahun 1971 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No.11 Tahun 1980
tentang Pidana Suap, namun peraturan perundangan tersebut tidak efektif untuk
mencegah tindakan korupsi. Dalam arti peraturan perundangan tadi masih belum
banyak menjerat para pelaku korupsi. Hal ini disebabkan karena sulitnya untuk
membuktikan tindakan korupsi, sehingga sulit untuk diproses sampai ke
pengadilan. Belum lagi para pelaku korupsi yang telah menyiasati peraturan
Perundang-undangan tadi dengan menggunakan pendekatan cost and benefit analysis
( analisis untung rugi ) dalam melakukan tindakan korupsi. Dalam arti antara
hukuman yang diberikan dengan hasil korupsi yang dilakukan ternyata masih
menguntungkan ( hasil korupsi lebih besar daripada tuntutan atau ganjaran
hukuman). Bahkan ada mekanisme banding yang dapat menunda hukuman, bisa
melakukan kasasi, grasi, yang bisa jadi prosesnya cukup lama, sehingga memberi
peluang bagi pelaku korupsi untuk menyiasati hasil korupsinya.
Lemahnya lembaga pengawasan (control)
dalam melaksanakan tugasnya juga merupakan salah satu penyebab munculnya
tindakan mal-administrasi. Kendatipun lembaga pengawasan baik pengawasan
politik,maupun pengawasan fungsional telah dibentuk, seperti DPR(D), BPK, BPKP,
Irjen, Irwilprop, Irwilkab, Irwikod, dan bahkan waskat, serta wasmas telah
dibentuk dan berjalan, namun para pelaku dari lembaga tersebut masih dengan
mudah untuk diatur, masih mau disuap, disogok, dan sejenisnya, maka lembaga
pengawasan ( control ) yang ada juga tidak akan mampu untuk melakukan
pencegahan timbulnya tindakan mal-administrasi yang ada dalam tubuh birokrasi
publik.
Lingkungan kerja, juga merupakan faktor
penting untuk memberi peluang munculnya suatu tindakan mal-administrasi.
Lingkungan dimana kita berada akan mempengaruhi sifat dan perilaku kita. Bila
kita berada pada lingkungan keras, akan membentuk sifat dan perilaku kita juga
cenderung keras. Demikian pula bila kita berada pada lingkungan agamis, juga
akan membentuk sifat dan perilaku kita cenderung agamis kita. Lingkungan kerja
dimana kita bekerja yang menilai bahwa suatu tindakan yang menyimpang ( korupsi
misalnya) di anggap sesuatu yang wajar, maka akan membentuk dan memberi peluang
perilaku yang menyimpang dari etika administrasi juga. Sebaliknya manakala
lingkungan kerja cukup ketat, bahwa tindakan yang menyimpang (korupsi) dinilai
sebagai suatu tindakan yang tidak baik,buruk, dan tercela juga maka juga akan
membentuk sikap, perilaku untuk tidak korup dan tidak akan memberi peluang
munculnya tindakan yang korup.
Efek birokratisasi juga merupakan salah satu
sumber penyebab korupsi di kebanyakan negara berkembang. Teori Parkinson
tentang birokrasi mengatakan bahwa di dalam setiap struktur formal terdapat
kecenderungan bagi bertambahnya personil dalam satuan-satuan organisasi. Setiap
kali mendapat tugas, biasanya para pejabat akan membentuk satuan-satuan baru
atau merekrut orang-orang baru. Ini mengakibatkan membengkaknya birokrasi baik
dari segi jumlah satuan maupun jumlah pegawainya (Kumorotomo, 1999 : 208).
Berdasarkan penelitian dari The World Bank
Development Research Group Public Service Delivery (Juni, 2001) menyatakan
bahwa meragukan mengenai gaji kecil aparatur negara merupakan alasan untuk
melakukan korupsi. Hanya disebutkan di sana bahwa merubah struktur penggajian
mungkin suatu bagian yang penting dalam reformasi birokrasi, tapi seharusnya
jangan dilihat sebagai alat utama untuk melawan korupsi.
Berdasarkan tujuan yang
mendorong orang melakukan korupsi, pada pokoknya korupsi dapat dibagi menjadi
dua yakni korusi politis dan korupsi material. Korupsi politis merupakan
penyelewengan kekuasaan yang lebih mengarah ke permainan-permainan politis yang
kotor, nepotisme, klientelisme, penyalahgunaan pemungutan suara, dan
sebagainya. Sedangkan korupsi material kebanyakan berbentuk manipulasi,
penyuapan, penggelapan, dan sebagainya. Arnold A. Rogow dan Harold D. Lasswel
menyebut para pejabat yang melakukan korupsi politis sebagai game
politician atau politisi permainan, sedangkan pejabat yang melakukan
korupsi material sebagai gain politician atau politisi pendapatan (Rogow
& Lasswel : 1963).
Survei yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) terhadap 105 unit layanan di 40 departemen/instansi tingkat pusat
serta 52 kabupaten/kota di 20 provinsi menunjukkan rendahnya kualitas layanan
publik di Indonesia.
Integritas
Birokrasi Pelayan Publik
No
|
Bentuk Integritas Rendah
|
Responden
|
Prosentase
|
|
1
|
Korupsi
|
3277
|
33%
|
|
2
|
Diskriminatif dalam pelayanan
|
3575
|
36%
|
|
3
|
Pelayanan dipersulit bila tidak memberi imbalan kepada petugas /
biaya tambahan
|
3078
|
31%
|
|
Jumlah
|
9.930
|
100%
|
Sumber
: Survei KPK terhadap kualitas layanan publik, 2008
Dari hasil survei tersebut terlihat bahwa
diskriminatif dalam pemberian layanan publik menempati urutan teratas indikator
rendahnya integritas birokrasi dalam pelayanan publik. Artinya, penyelenggaraan
pelayanan masih amat dipengaruhi hubungan perkoncoan, kesamaan afiliasi
politik, etnis, dan agama. Fenomena semacam ini tetap marak walaupun telah
diberlakukan UU No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih
dari KKN yang secara tegas menyatakan keharusan adanya kesamaan pelayanan,
bukannya diskriminasi.
Riset yang dilakukan oleh Institute for Civil
Society (INCIS) pada masyarakat pengguna jasa layanan publik di wilayah DKI
mempertegas adanya diskriminasi dalam praktek layanan publik. Survei ini
sebenarnya bisa digunakan sebagai efek shamming bagi birokrasi
yang diharapkan akan bisa memacu birokrasi mengubah pencitraan diri menjadi
lebih baik.
Pengadaan barang dan jasa di lingkungan
pemerintah juga sering kali bermasalah, baik dari segi kualitas barang yang
tidak sesuai maupun adanya unsur Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) antara
pejabat pemerintah dengan para penyedia barang atau jasa. Upaya untuk
memberantas praktek-praktek KKN dalam proses pengadaan barang dan jasa berkembang
semakin kuat dengan semakin tumbuhnya kesadaran dan kebutuhan masyarakat dan
pemerintah untuk meningkatkan partisipasi dan peran serta masyarakat, terutama
dalam bentuk pengawasan terhadap proses pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Selama ini, kurangnya pengawasan oleh masyarakat
pada proses pengadaan barang dan jasa, antara lain disebabkan oleh minimnya
pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang pengadaan barang dan jasa
pemerintah. Di samping itu, tidak tersedianya mekanisme pengawasan dan mekanisme
untuk menyampaikan pengaduan atas dugaan penyimpangan pada suatu proses
pengadaan barang dan jasa semakin memperkecil keinginan, peran dan partisipasi
masyarakat untuk melakukan fungsi pengawasan.
Pemberantasan korupsi dalam pengadaan barang dan
jasa di instansi pemerintah semakin diperkuat dan dipertegas oleh pemerintah
melalui peraturan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi. Inpres tersebut mengamanatkan bahwa proses
pengadaan barang dan jasa pemerintah harus dilaksanakan secara konsisten sesuai
dengan ketentuan dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 sehingga berbagai peluang
kebocoran dan kemungkinan terjadinya pemborosan keuangan negara, baik yang
berasal dari APBN maupun APBD dapat dicegah.
Solusi Pencegahan Korupsi dalam Birokrasi
Solusi yang dapat digunakan
untuk mencegah korupsi antara lain :
1)
Cara
Sistemik-Struktural
Mendayagunakan segenap suprastruktur politik
maupun infrastruktur politik dan pada saat yang sama membenahi birokrasi
sehingga lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan-tindakan korup dapat
ditutup. Suprastruktur politik adalah keseluruhan lembaga penyelenggara negara
yang mempunyai kewenangan hukum konstitusional yang bersumber dari UUD 1945
seperti MPR, Presiden, DPR, DPA, BPK, MA dan pemerintah daerah beserta seluruh
jajarannya. Sedangkan infrasruktur politik adalah organisasi-organisasi
kekuatan sosial politik dan kemasyarakatan yang tidak mempunyai kewenangan
hukum konstitusional tetapi dapat berperan sebagai kelompok penekan.
2)
Cara
Abolisionistik
Korupsi adalah suatu kejahatan yang harus
diberantas dengan terlebih dahulu menggali sebab-sebabnya dan kemudian
penanggulangan diarahkan pada usaha-usaha menghilangkan sebab-sebab tersebut.
Jalan yang ditempuh adalah dengan mengkaji permasalahan-permasalahan yang
tengah dihadapi masyarakat, mempelajari dorongan-dorongan individual yang
mengarah ke tindakan-tindakan korupsi, meningkatkan kesadaran hukum masyarakat
serta menindak orang-orang yang korup berdasarkan kodifikasi hukum yang
berlaku. Pemerintah harus berani melakukan pembersihan di dalam tubuh
pemerintahan yaitu pembersihan terhadap aparatur-aparatur yang tidak jujur.
3)
Cara
Moralistik
Faktor penting dalam persoalan korupsi adalah
faktor sikap dan mental manusia. Oleh karena itu usaha penanggulangannya harus
pula terarah pada faktor moral manusia sebagai pengawas
aktivitas-aktivitas tersebut. Cara moralistik dapat dilakukan melalui pembinaan
mental dan moral manusia, khotbah-khotbah, ceramah atau penyuluhan di bidang
keagamaan, etika dan hukum serta memasukkan etika dan moral dalam kurikulum
pendidikan di sekolah formal dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi (Kumorotomo, 1999 :
218).
Kesimpulan
Dewasa ini di Indonesia banyak kasus yang
berhubungan dengan etika dan moralitas. Kasus-kasus seperti korupsi, penyuapan,
penggelapan, gratifikasi dan mafia kasus dalam peradilan serta mafia pajak yang
terjadi belakangan ini tentunya sangat bertentangan dengan etika dan moralitas.
Etika birokrasi adalah suatu kebiasaan yang baik dalam birokrasi, yang kemudian
mengendap menjadi norma-norma atau kaidah atau dengan kata lain yang menjadi normatif
dalam perikehidupan manusia dan penyelenggaraan administrasi negara. Kode etik
dapat dijadikan sebagai pedoman bertindak bagi segenap aparat publik. Salah
satu sumber formal kode etik yang berlaku bagi setiap pegawai atau pejabat
pemerintah adalah ketentuan mengenai Sapta Prasetya KORPRI dan isi yang termuat
dalam Sumpah Jabatan.
Korupsi adalah
penyelewengan atau penggelapan uang negara, perusahaan, dan sebagainya untuk
keuntungan pribadi atau orang lain. Bentuk dari korupsi dalam birokrasi dapat
berupa suap, pemerasan, gratifikasi, penggelapan, nepotisme, komisi, benturan
kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, perbuatan curang, dan sebagainya.
Solusi yang dapat digunakan untuk mencegah
korupsi antara lain :
1)
Cara
Sistemik-Struktural
2)
Cara
Abolisionistik
3)
Cara
Moralistik
Saran
Etika dalam birokrasi pemerintahan merupakan hal
yang sangat penting untuk keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan dan
untuk menjaga citra birokrasi agar birokrasi pemerintahan terus mendapat
kepercayaan dari masyarakat. Pejabat pemerintah dalam menjalankan pekerjaannya
seharusnya sesuai dengan etika jabatannya masing-masing dan mempunyai kewajiban
serta tanggung jawab moral kepada masyarakat.
Hal yang perlu dilakukan untuk memberantas
korupsi antara lain adanya komponen-komponen yang berfungsi sebagai pengawas
atau pengontrol, sehingga ada proses check and balance. Masyarakat
seharusnya ikut berpartisipasi dalam upaya pemberantasan korupsi. Kemudian
perlu adanya perampingan birokrasi agar birokrasi lebih efektif dan efisien
serta untuk mencegah bertambahnya pegawai yang melakukan korupsi.
Dalam perumusan kebijakan, pejabat administrasi
negara perlu untuk lebih memperhatikan kepentingan umum (public interest).
Pemerintah seharusnya terus melakukan reformasi birokrasi dengan menerapkan
tata pemerintahan yang baik (good governance) dalam penyelenggaraan
pemerintahan agar birokrasi pemerintahan di Indonesia lebih akuntabel,
transparan, responsive, efektif dan efisien.
Daftar
Pustaka
Joeniarto. 1984. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara. Bina
Aksara : Jakarta.
Kencana, Inu, dkk. 1999. Ilmu Administrasi Publik. Rineka
Cipta : Jakarta.
Kumorotomo, Wahyudi. 2008. Etika Administrasi Negara. PT
Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Simorangkir, OP. 1978. Etika Jabatan. Aksara Persada
Indonesia : Jakarta.
Suyamto. 1989. Norma dan Etika Pengawasan. Sinar Grafika :
Jakarta.
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut