Baiklah, kali ini kita akan sedikit serius mengupas
tentang salah satu pergeseran paradigma Ilmu Administrasi Negara/Publik atau
Manajemen dan Kebijakan Publik, yakni tentang bergesernya paradigma goverment
(Pemerintah-sentris) ke Governance. Silahkan disimak J
Pemerintah
memiliki tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan publik, sudah bukan lagi
menjadi rahasia jika pemerintah melalui konseps government-nya selalu
berusaha menjadi satu-satunya provider kebutuhan publik dan berusaha
menjangkau semua aspek kehidupan masyarakat. Namun dinamika ekonomi, politik,
dan budaya yang semakin tinggi menyebabkan kompleksitas persoalan publik juga
semakin meningkat. Hal ini menjadikan pemerintah ‘kelabakan’ dalam upaya
menjawab semua kebutuhan masyarakat. Jika dipaksakan untuk tetap menjadi
satu-satunya provider yang melayani kebutuhan publik di semua lini, bisa
jadi hasilnya akan semakin jauh dari yang diharapkan. Maka akan lahir
ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah. Pemusatan
urusan pelayanan publik oleh pemerintah di semua masalah publik/kemasyarakatan
juga dapat menenggelamkan potensi masyarakat sipil dan pasar untuk turut serta
menjawab kebutuhan publik.
Kebutuhan
masyarakat yang semakin kompleks membuat negara tidak mampu untuk menjadi satu-satunya
provider pelayanan publik. Kebutuhan publik yang tidak juga dipenuhi
pemerintah dengan baik ini semakin kuat mendorong masyarakat sipil dan pasar
untuk turut serta menjawab permasalahan tersebut. Di dekade terakhir ini
kapasitas masyarakat sipil dan pasar untuk menjawab kebutuhan masyarakat
semakin tinggi. Ditambah dengan tuntutan demokratisasi yang semakin mendorong
masyarakat sipil dan pasar ‘memaksa’ untuk turut serta dalam memenuhi kebutuhan
publik. Akibatnya, banyak kebutuhan masyarakat sebagai kolektivitas seperti
barang-barang publik dan semi-publik, yang kemudian diselenggarakan oleh
lembaga non-pemerintah. Semakin banyak kegiatan yang dulunya dikelola oleh
lembaga pemerintah kemudian diselenggarakan oleh lembaga non-pemerintah membuat
Ilmu Administrasi Publik dalam konsep government menjadi kurang relevan (Dwiyanto, 2004:8-10).
Untuk
menjawab permasalahan tersebut lahirlah sebuah upaya dan pemikiran yang mencoba
membawa Ilmu Administrasi Publik tetap relevan dalam menjawab permasalahan tersebut.
Intinya tentu tidak lagi memposisikan administrasi publik sebagai administrasi
pemerintahan. Munculah sejumlah paradigma dan gerakan baru yang mencoba untuk
mengurangi dominasi negara, seperti demokratisasi, desentralisasi,
debirokratisasi, deregulasi, privatisasi, depemerintahanisasi menurut Dwiyanto,
minimal state menurut Rhodes, dan lain sebagainya (Wicaksono, ). Hal inilah yang kemudian memunculkan sebuah konsep pemerintahan baru,
yakni governance, dimana pemerintah tidak sekedar dimaknai sebagai lembaga,
tetapi proses memerintah (governing) yang dilakukan secara kolaboratif
antara lembaga pemerintah, semi pemerintah, dan non-pemerintah seperti LSM dan
institusi swasta yang berlangsung secara balance dan partisipatif (Wibawa, 2006:78).
Wibawa
menerjemahkan governance menunjuk pada pengertian kekuasaan tidak lagi
semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah. Governance menekankan
pada pelaksanaan fungsi governing secara bersama-sama oleh pemerintah
dan institusi-institusi lain, yaitu LSM, perusahaan swasta maupun warga negara (Wibawa, 2006:77).
Konsep governance
secara lengkap antara lain dirumuskan oleh United Nations Development
Programe (UNDP) seperti yang penulis kutip dibawah ini:
Governance as the
exercise of political, economic and administrative authority to manage a
society’s affairs. This broad concept encompasses the organizational structures
and activities of central, regional and local government, the parliament, the
judiciary, and the institutions, organizations, and individuals that constitute
civil society and the private sector. This concept of governance stresses the
nature of quality of interacting among social actors and between social actors
and state (dalam
Wicaksono, 2004:23).
Perubahan
paradigma dari government ke governance tentunya memiliki
implikasi pada perubahan peranan suatu negara terutama pada hal pelayanan
publik (Bevir,
2007:364). Perubahan yang dimaksud adalah perubahan dari hierarki birokrasi
menuju debirokratisasi. Artinya, negara tidak lagi memonopoli praktek
penyelenggaraan layanan publik akan tetapi ada mekanisme pasar dan civil
society yang turut serta. Lebih lanjut menurut Wibawa negara harus
melibatkan semua pilar masyarakat bukan hanya dalam penyelenggaraan layanan
publik, tetapi juga dalam proses kebijakan mulai dari formulasi, implementasi,
dan evaluasi kebijakan, sampai kepada penyelenggaraan layanan publik (Wibawa, 2006:78-79).
Jadi
memahami Ilmu Administrasi Publik dalam studi governance maka memahami
pula bahwa ketergantungan negara kepada lembaga lain akan semakin besar yang
sejalan dengan permasalah publik yang terus berkembang. Hal senada diungkapkan
Bevir seperti penulis kutip di bawah ini:
…governance
expresses a widespread belief that the state increasingly depends on other
organizations to secure its itentions, deliver its policies, and establish a
pattern of rule (Bevir, loc. Cit).
Tumbuhnya civil society menjadi
hal yang ‘wajib’ dalam upaya menuju perwujudan governance.
0 komentar:
Posting Komentar